Kamis, 07 Agustus 2008

Belajar dari Revolusi Cina

Oleh Syafinuddin Al Mandari

I

mpi seorang Mao Zedong, sang founding father negeri Tiongkok yang juga disebut Republik Rakyat Cina (1 Oktober 1949), pernah diragukannya sendiri. Negeri yang didirikannya di atas napas ideologi komunisme, bangunan politik totaliter dan diktator proletariat, serta sistem partai tunggal, PKC (Partai Komunis Cina), tampaknya menghadapi jalan buntu saat ia harus mengalihkan perkara masa depan Cina ke generasi mudanya.

Hal itu mulai terasa sejak memasuki dekade 1970-an. Tatkala pertarungan Perang Dingin menunjukkan bahwa angin baru dunia masa depan semakin memihak pada kelompok kapitalis, muncul suatu kesadaran bahwa pemenang masa depan adalah pemilik kekuatan ekonomi dan perdagangan dunia. Sementara sistem totaliter yang menyemangati Cina tampaknya belum dapat mengambil jalan kompromi. Di sisi lain, realitas politik internal ketika itu, tengah diancam pertarungan kelompok untuk memperebutkan posisi Mao.

"Negeri telah menjadi merah, tapi siapa yang akan menjadi pengawalnya?" (Gusti Lesek, Suara Pembaruan, 17-3-2002). Tapi siapa yang menyangka bahwa Cina dapat melakukan dua hal sekaligus; bersaing ekonomi secara gagah perkasa dengan negara-negara kapitalis dan melakukan suksesi kepemimpinan dengan sangat mulus? Padahal telah dimaklumi sejak awal bahwa hal itu sangat musykil. Terpilihnya Hu Jintao sebagai Presiden menggantikan Jiang Zemin, PM Wen Jiabao menggantikan Zhu Rongji, dan Wu Bang- guo menggantikan Li Peng sebagai Ketua Parlemen Cina dengan sangat sukses, menunjukkan suatu proses suksesi dan sirkulasi kekuasaan antar generasi yang kukuh.

Suara Sumbang

Suara sumbang yang mungkin ditohokkan adalah kurang demokratisnya sistem tersebut. Namun, rupanya Cina telah menemukan substansi prinsipil dari demokrasi itu sendiri. Para pemimpin Cina pasca Mao, berhasil keluar dari demokrasi aksidental yang amat simbolik, menuju demokrasi substansial yang lebih sejati. Apa lagi kalau bukan pembangunan negara yang secara sungguh-sungguh dinapasi dan digerakkan dengan pemihakan penuh pada kepentingan rakyat. Itulah sebabnya, secara politik Cina dengan gagah perkasa masih percaya diri mempertahankan nuansa Marxisme klasik, namun pada aras ekonomi Cina memoderasi pola dan simbol "kapitalis", tanpa harus terganggu dengan doktrin ekonomi sosialisme.

Adalah Deng Xiaoping, pengganti Mao, yang berhasil melakukan reinterpretasi sosialisme untuk meyakinkan arah baru kebijakan ekonomi-politiknya di masa mendatang. Ia mengatakan; "esensi sosialisme berada dalam kebebasan dan perkembangan kekuatan produktif. Dalam menentukan kegagalan dan keberhasilan sebuah partai, kriteria terbaik adalah apakah rakyat puas dengan partai tersebut atau apakah partai tersebut disukai rakyat." (Media Indonesia,1-10-2002). Meski selanjutnya, rakyat dipaksa bersabar membuktikan mimpi petinggi PKC, bahkan dengan sejumlah pengorbanan, seperti peristiwa Lapangan Tiannanmen 1989, tetapi dapat dipastikan Cina akan sangat tampil percaya diri membawa panji kemenangan di era kompetisi global mendatang.

Hal itu dapat dilihat dari pernyataan Lee Kwan Yeuw, "The United States is prepared to see a China which will grow and become almost as big in GDP (Gross Domestic Product) by 2050, and that is going to be a very different world." (The Jakarta Post, Mei 2002). Itu berarti bahwa tanpa kehilangan esensi ideologi sosialismenya dan takluk pada sistem kapitalisme, Cina merasa mampu berdiri sejajar dengan negara-negara kapitalisme.

Isu demokratisasi dan perdagangan bebas yang rada memojokkan negara komunis itu, ternyata dapat disiasati dengan sangat tepat. Demokrasi tidak menyebabkan mereka kehilangan kekuasaan untuk menerapkan janji pengabdiannya kepada rakyat. Demokrasi yang justru banyak melahirkan pemimpin diktator seperti George W. Bush berhasil ditekan dengan model "demokrasi" yang khas Cina. Itulah sebabnya, naiknya Jiang Zemin, menggantikan Deng Xiaoping, amat mulus. Kekuasaan Zemin juga tidak demikian guncang karena isu demokratisasi yang random. Bagi rakyat Cina, capaian Jiang Zemin amat memuaskan. Survei yang dilakukan oleh Beijing-based Horizon menunjukkan bahwa 83% rakyat Cina yang sangat puas dengan perkembangan taraf kehidupan mereka sejak kebijakan reformasi dan keterbukaan Cina diberlakukan di zaman Deng. Demikian pula 85% masyarakatnya menyatakan optimistis akan perubahan yang lebih baik di masa mendatang.

Berjaya

Inilah yang menyebabkan langkah mantapnya menggabungkan diri dengan WTO (World Trade Organization) pada 11 Desember 2001. Di saat negara Komunis lainnya bangkrut, atau paling tidak masih underground dari segi ekonomi-politik internasional, Cina justru berjaya. Itulah sebabnya pada Kongres XVI PKC, 8 November 2002 mulai menerima gagasan "Tiga Perwakilan" (Sange Daibiao) dalam Anggaran Dasar PKC. Teori "Tiga Perwakilan" itu menyebutkan bahwa partai komunis yang berkuasa di Cina tidak hanya perwakilan kelas pekerja dan petani, tetapi juga massa luas termasuk di dalamnya kekuatan produksi maju.

Kelompok ketiga ini sebenarnya hanyalah sebutan baru bagi kaum pengusaha kapitalis seperti yang ada dalam kamus komunisme.

Tapi hal itu dengan tegas ditempatkan sebagai faktor aksidental, demi meraih tujuan kesejahteraan masyarakat. Cina lebih realistis dengan dunia dan masa depannya. Slogan ideal dapat diposisikan dengan tepat untuk menggeser angan-angan menjadi suatu gerakan nyata. Cina berani meninggalkan pemujaan pada slogan suci anti-kanan seperti kampanye Mao Zedong pada tahun 1965, kemudian mengedepankan substansi perjuangan PKC yakni; kepentingan rakyat adalah titik awal dan hasil akhir.

'Ala kulli hal, Cina demikian mengagumkan. Tapi tentulah kukuhnya Cina tidak disulap seketika, tetapi didirikan di atas prinsip yang kuat dan tekad untuk menunaikan amanat rakyat. Pemerintahan yang disanggah tokoh-tokoh kharismatik Cina di bawah Jiang Zemin (Presiden), Zhu Rongji (Perdana Menteri) dan Li Peng (Ketua Legislatif) secara sungguh-sungguh memperjuangkan cita-cita rakyat Cina untuk hidup makmur dan berdaulat.

Tatkala dilantik menjadi Perdana Menteri tahun 1998, Zhu Rongji berjanji untuk memecat empat juta pegawai negeri yang korup, menghapuskan tunjangan yang menyebabkan inefisiensi keuangan negara, dan meningkatkan perekonomian Cina. Hanya dalam waktu 5 tahun saja, sejalan dengan kebijakan Jiang Zemin pada tahun 1995 untuk memerangi korupsi tanpa ampun, jutaan koruptor diberi sanksi berat.

Tahun 2000, seperti dilaporkan kantor berita Cina, Xinhua, seorang pejabat senior pemerintahan yakni mantan Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Changqing telah dieksekusi mati 8 Maret 2000 karena korupsi.

Changqing dituduh menerima suap US $ 660.000 lebih, menerima sejumlah mobil, menerima sejumlah hadiah dan pembayaran antara 1995 sampai 1999 saat menjabat di Dewan Negara (State Council), juga tatkala menjadi anggota kabinet pemerintahan Cina. Ia pernah meloloskan warga Cina ke Hong Kong dengan me- nerbitkan lisensi bisnis setelah disuap ratusan ribu dollar AS.

Mantan Wali Kota Beijing, Chen Xitong juga ditangkap pada tahun 1998 karena skandal korupsi. Ia didakwa menggelapkan dana 2,2 miliar dolar AS. Xitong akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama 16 tahun. Cheng Kejie, seorang pejabat dan elite PKC dan Wakil Kepala Kongres Nasional (National People's Congress/NPC), parlemennya Cina, dicampakkan dari PKC karena menurut pemberitaan media Hong Kong, ia telah menerima suap 4,8 miliar dolar AS.

Orang lain yang merupakan pejabat tinggi dan dikenai hukuman berat karena korupsi adalah Xu Bingsong dan Liu Zhi Bing, kedua-duanya mantan wakil di pemerintahan Provinsi Guangxi. Bingsong ditangkap pada bulan Juni 1998 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup sebab terbukti menerima suap US $ 66.000, sedang Zhibing didakwa menggelapkan uang pajak, terlibat penyelundupan dan jaringan perdagangan obat-obat terlarang.

Tekad memberantas korupsi bahkan disamakan dengan pertahanan hidup matinya PKC. Karena itu pula kejahatan lainnya yang dapat saja jalin berkelindan dengan korupsi, serta-merta diperangi. Sejak dicanangkannya perang terhadap kejahatan yang dikenal dengan sebutan Srike Hard tahun 1996, Cina telah mengeksekusi pelaku kejahatan sebanyak 1.781 orang dengan melalui pengadilan dan pembuktian kepada publik secara transparan. Hal itu diakui Amnesti Internasional dalam pernyataannya pada tanggal 6 Juli 2001.

Sedang data lain yang dikeluarkan para diplomat Cina pada tahun 2001, jumlah yang telah dieksekusi sudah mencapai 4.367 orang. Kini Cina menduduki urutan ke-44 negara terkorup dari 102 negara, dengan skor 3,5. Skor negara terbersih dari korupsi adalah Finlandia 9,7 sedang terko-rup adalah Bangladesh dengan skor 1,2. (Kompas, 9-3-2003).

Keterbukaan yang dicanangkan pemerintah juga dapat bermakna memberi kesempatan pada setiap orang untuk mengejar kualitas tertentu guna memenuhi syarat bertarung di ruang politik negeri Cina. Dengan demikian, dalam sudut pandang demokrasi, Cina sangat demokratis dengan dibukanya ruang publik seluas mungkin, namun memiliki ukuran kualitatif yang jelas. Hal itu menjadi tapisan ketat agar pemimpin politik dan elite penggiat ekonomi negara, dapat dijamin berpegang teguh pada tujuan luhur RRC.

Pelajaran Berharga

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam banyak hal, Cina memiliki sejumlah kemiripan dengan Indonesia. Hingga awal tahun 1990, ekonomi Cina belum menunjukkan kemajuan berarti. Korupsi masih mendiami seluruh jajaran birokrasi. Pergolakan politik juga amat dinamis. Tapi dalam waktu 10 tahun, Cina dapat mencapai angka 7% pertumbuhan ekonominya, dapat menekan tingkat korupsi secara sangat signifikan paling tidak dari segi ketegasan menghukum pelaku-pelaku korupsi, serta stabilitas politik yang baik tanpa mengabaikan dinamika demokrasi.

Demikian pula yang jauh lebih penting adalah terkatrolnya kepercayaan rakyat yang pernah terpuruk menjelang akhir dekade 1980-an. Di Indonesia, telah menjadi kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi amat lamban, sektor ril yang jalan di tempat, korupsi meluas dan makin jelas, ketegasan hukum terhadap koruptor amat sangat lemah, dinamika politik yang tidak dapat mendukung pendidikan dan penyadaran bermasyarakat, misalnya suksesi kepemimpinan nasional yang berpotensi konflik sosial yang sangat dahsyat atau sekurang-kurangnya akan menghasilkan pemimpin nasional yang tidak kredibel, akuntabel, kapabel dan semacamnya, serta kepercayaan masyarakat kian terpuruk.

Hal-hal yang disebut terakhir pada hakikatnya adalah agenda reformasi yang oleh pemerintah belum sanggup dijalankan. Cina terbukti berhasil menjalankan reformasi dengan pengawasan masyarakat yang sangat baik. Masyarakat, dengan demikian, menaruh kepercayaan yang amat besar. Karena itu pula, masyarakat dapat dengan sabar menunggu realisasi kebijakan pemerintah. Saatnya kini, bangsa kita mengambil pelajaran dari Cina, negara yang mungkin ideologinya kita "benci", tapi justru memberi sebagian contoh yang baik untuk mencapai tujuan nasional kita. Semoga!

Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2001-2003.

SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 31/3/2003

Tidak ada komentar: