Kamis, 07 Agustus 2008

Kritik terhadap Strategi Politik - Militer


OLEH; Sonny Melencio dan Reihana Mohideen

Sumber : 'Critique of The Politico-Military Strategy' 17, Januari-April 2001

Penerjemah : Bhono & Erna, November 2001

Sejumlah formasi partai di Philipina, seperti PMP (Partai Pekerja Philipina), RPM (Partai Pekerja Revolusioner) dan PMLP (Partai Marxists-Leninists Philipina), mengadopsi strategi "politico-military" (pol-mil) sebagai sebuah reaksi atas strategi perang rakyat berkelanjutan-nya Partai Komunis Philipina (CPP). Hal ini ditegaskan sebagai sebuah kombinasi perjuangan politik dan militer, dengan perjuangan militer memegang peran kedua atau subordinat dari perjuangan politik.

'Pol-mil' biasanya berarti pembentukan sebuah kelompok kecil atau unit bersenjata, kebanyakan di daerah perkotaan, yang menjalankan operasi bersenjata khusus seperti pembunuhan atas seorang pejabat dari kelas penguasa, pengeboman, sabotase, 'pengambilalihan' dan tindakan hukuman lainnya atas seseorang atau kelompok tertentu.

Untuk kelompok-kelompok ini, “pol-mil” telah dipilih pada level strategi. Beberapa kelompok juga menjalankan strategi dengan mengambil model Vietnam. Saat ini waktunya kita memperjelas isi dari beberapa kombinasi model Vietnam.

Pol-Mil Vietnam

Pemimpin Partai Komunis Vietnam (VCP) memandang pol-mil bukan sebagai strategi melainkan “sebagai bentuk fundamental atas kekerasan revolusioner” selama perang pembebasan nasional di negara mereka.

Menurut Truong Chinh, seorang anggota politbiro VCP:

...revolusi Vietnam selalu menggunakan kedua bentuk-perjuangan politik da perjuangan bersenjata-pada tahap insureksi dan memenangkan kekuatan-.kekuatan bersenjata dikombinasikan dengan kekuatan politik, perjuangan bersenjata dikombinasikan dengan perjuangan politik-sebagai bentuk fundamental dari kekerasan revolusioner di negara kami.[i][i] 1

Bagi VCP, strategi revolusioner terdiri dari menentukan musuh, motif kekuatan revolusioner dan sekutu bagi proletar pada setiap tahap strategi dari revolusi. Pol-mil di sisi lain, adalah sebuah bentuk perjuangan (atau sebuah kombinasi dari bentuk perjuangan) yang biasanya digabungkan dengan taktik.

Disini pointnya adalah untuk menggambarkan perbedaan antara sebuah strategi dan taktik partai. Seandainya ada yang memilih sebuah bentuk (atau kombinasi dari berbagai bentuk) dari perjuangan pada level strategi, resikonya adalah meniadakan atau membuang bentuk aksi terkait lainnya yang juga penting untuk pengembangan tujuan jangka panjang partai (kepentingan terbesar dari strategi). Propaganda dan pembangunan partai, misalnya, sama pentingnya dengan bentuk pol-mil dalam membangun dan mengembangkan muatan revolusioner partai.

Tetapi bahkan jika kita mengambil pol-mil Vietnam sebagai strategi, ada dua hal yang harus kita perjelas:

Pertama. “Strategi pol-mil” Vietnam bukanlah “strategi perang rakyat berkelanjutan (PPW)” nya Mao seperti yang selalu diinginkan CPP. Bukan strategi “Desa mengepung kota”, “membangun basis merah” di desa hingga kekuatan bersenjata revolusioner siap untuk menguasi kekuatan politik di kota-kota penting, “daerah penting perjuangan adalah di desa” dan lain sebagainya.

Ketakutan demi ketakutan bagi CPP adalah: strategi VCP menjadi insureksioner -meskipun mengkombinasikan perjuangan politik dan perjuangan militer baik di desa maupun kota. Menurut Truong Chinh, kombinasi ini “seharusnya tentu saja sebagai kombinasi perjuangan politik (sebagai contoh, pemogokan politik besar-besaran, pemogokan sekolah-sekolah, pemogokan pasar, pemogokan pekerja kantor, pertemuan politik dan demonstrasi, demonstrasi bersenjata untuk menunjukkan kekuatan, dsb) dan serangan bersenjata” di desa dan di kota.

Bagi Vietnam, karakter insureksioner revolusi adalah jelas. Insureksi menegaskan kombinasi pol-mil. Sehingga: “harus mencapai kombinasi perjuangan militer dan politik hingga ke level tertinggi: kombinasi dari tindakan sebelum, selama dan sesudah insureksi; selama insureksi untuk memenangkan kekuatan seperti dalam perang untuk pembebasan; di desa dan kota demikian juga antara kota dan desa; dalam merancang operasi, taktik dan strategi dalam perang pembebasan. Bentuk tertinggi dari kombinasi ini adalah penyerangan besar-besaran dengan insureksi besar-besaran

Kedua. “Strategi pol-mil” Vietnam bukan berarti kombinasi dari keduanya di segala bidang. Bagi Truong-Chinh, “Dari 1936 hingga 1939, saat menghadapi bahaya fasisme dan perang agresif oleh fasis, dan menyiapkan berbagai kesempatan untuk melawan musuh, partai kita menjadi basis bagi pembangunan “kekuatan politis” massa. Hal ini berarti kemampuan untuk mengkombinasikan aksi legal dan ilegal, “Termasuk penggunaan Ruang Perwakilan Rakyat” dan “Dewan Kolonial”, dsb, untuk memicu sebuah gerakan atas perjuangan politik dari kota ke desa”

Jadi, hal ini hanya selama pendahuluan Perang Dunia Kedua bahwa pemberontakan bersenjata mulai bersikap di Vietnam. Dari situ, Truong-Chinh berkata:

Partai kita dimajukan dari perjuangan politik menjadi mobilisasi untuk perjuangan bersenjata, dari organisasi massa politis menjadi bangunan kekuatan paramiliter rakyat (self defence units untuk pembebasan nasional, unit pertempuran pertahanan diri, unit gerilyawan dari pasukan pembebasan nasional dan pasukan pembebasan). Sebagaimana kombinasi kedua bentuk perjuangan politik dan bersenjata selama tahun-tahun persiapan untuk pemberontakan, selama masa sebelum pemberontakan dan tepat pada bulan Agustus 1945 pemberontakan besar 5 .

Di Vietnam, kombinasi kedua bentuk perjuangan politik dan bersenjata lahir selama perang pembebasan nasional pada tahun 1939-1945 (dan diakhiri oleh revolusi Agustus yang gemilang). Dan kemudian bentuk kombinasi dilakukan kembali pada saat agresi penjajah Perancis pada tahun 1945-1954. Pada periode ini, Truong menyebut, “Kekerasan revolusioner rakyat terwujud dalam kombinasi perjuangan politik dan bersenjata, dengan menonjolkan perjuangan bersenjata” 6

Jadi jelas bahwa meskipun kombinasi perjuangan politik dan bersenjata merupakan bentuk fundamental dari kekerasan dalam revolusi Vietnam, “Begitu juga mereka (menonjol) menurut situasi konkrit yang berlaku dalam tiap periode atau tiap daerah” 7

VCP berlaku sangat spesifik selama periode saat kombinasi pol-mil menjadi bentuk pokok revolusioner. Pol-mil dijalankan kembali saat melakukan perlawanan terhadap penjajah Perancis (yang memimpin pembebasan wilayah utara) dan selama agresi imperialis Amerika di wilayah selatan. VCP mencatat bahwa “strategi” dikembangkan tidak hanya dengan kombinasi perjuangan politik dan militer saja, tetapi juga dengan membangun perjuangan diplomatik.

Saat yang tepat untuk memulai perjuangan bersenjata atau militer lebih jauh diperjelas kembali oleh pimpinan VCP:

Dalam rangka revolusi, seseorang mutlak harus memobilisasi massa untuk melakukan perjuangan politik dalam segala bentuk, dengan demikian mendidik, membesarkan hati dan mengorganisir mereka; mengembangkan partai dan organisasi politik massa (untuk membangun “tentara politis massa”. Hanya pada beberapa hal, saat kondisi bervariasi, seseorang harus membangun kekuatan bersenjata rakyat revolusioner dan memicu sebuah perjuangan bersenjata. Organisasi politis massa membentuk basis kekuatan tentara rakyat. 8

Pol-Mil Filipina

Karenanya, “strategi pol-mil” menjadi maju oleh sejumlah kelompok kiri di Filipina (sebenarnya beberapa kelompok lebih banyak bicara daripada perbuatan) secara substansi berbeda dengan model Vietnam. Menunjukkan sekali lagi kecenderungan beberapa kelompok untuk menciptakan sebuah skema “mendunia” sebuah bentuk strategi tanpa mempertimbangkan situasi atau konteks yang mana sebuah bentuk telah terbangun secara sukses.

Strategi pol-mil versi Filipina memasukkan formasi kelompok gerilyawan kota yang menjalankan operasi “pertempuran tunggal” melawan perwakilan individu atau institusi kelas penguasa dalam bentuk pembunuhan, pemboman, sabotase, “pengambilalihan” dan tindakan hukuman lainnya.

Hebatnya, tujuan dari tindakan ini diakui untuk membantu atau menstimulasi aksi massa, meskipun sejumlah tindakan memberi dampak dramatis, seperti pengakuan RPM atas pengeboman sebuah perusahaan minyak pada saat harga minyak meningkat, atau sebagai sebuah “pelajaran” atau “penghindaran lebih dulu” dari kapitalis dan polisi yang menyerang buruh dengan kekerasan, seperti kebanyakan operasi yang dijalankan oleh Alex Boncayao Brigade (ABB) di daerah industri Metro Manila. (“Pengambilalihan” adalah hal lainnya, yang bertujuan untuk mendapatkan dana bagi gerakan revolusioner) Samasekali tidak memberi dampak politik yang jelas dan jauh dari gerakan massa, aksi-aksi ini, bagaimanpun juga, memiliki tendensi menjadi ultra-kiri dan lebih sebagai ukuran menyedihkan daripada menambahkan bagian dari perjuangan politik.

Disini strategi pol-mil-atau lebih bergengsi dengan komponen militer sebagai strategi-merujuk pada tindakan teror individu yang diciptakan untuk mengacaukan negara, menciptakan dampak dramatis, memberi ”peringatan” atau “pelajaran” pada kapitalis dan polisi dan menekan kelas penguasa atau perwakilan individu) untuk mengubah kebijaksanaan yang sesuai dengan massa atau gerakan massa.

Terorisme dan Teror sebagai taktik

Komponen pol-mil dalam strategi ini berarti menggunakan teror sebagai sebuah bentuk kekerasan revolusioner melawan kekerasan reaksioner oleh negara mewakili kelas penguasa. Marxis memahami kebutuhan akan kekerasan revolusioner dan oleh karenanya tidak menentang penggunaan teror (atau aksi gerilya) di kota dan desa jika situasi membutuhkan semacam tindakan. Tetapi kita harus memperjelas kondisi dan syarat-syaratnya yang mengijinkan dilakukannya suatu tindakan.

Pertama, kita perlu mengklarifikasi pandangan kita mengenai terorisme atau aksi teror yang ditingkatkan pada level strategi.

Dalam kondisi Filipina, kita bisa menyebut sebagai sebuah contoh strategi menghasut dengan gerakan menyulut sebuah peperangan, sebuah kelompok SosDem, pada saat periode kediktatoran Marcos. Strategi selanjutnya dengan meningkatkan aksi pembakaran rumah, peledakan bom, dsb, dengan tujuan untuk mengacaukan dan melumpuhkan perangkat perang rezim “sejak protes damai tidak dimungkinkan dalam sistem ini". Tipe terorisme ini bukan kaum proletar tapi kaum bourjuis kecil, individualis dan gaya tindakan elitis. Seperti liberalisme, hal ini menunjukan kurang kepercayaan diri yang fundamental atas potensi massa untuk mencapai perubahan politik atau sosial melalui aksi mereka sendiri. Terorisme sebagai sebuah strategi yang tidak memiliki tempat dalam gerakan sosialis revolusioner atau gerakan marxis.

Kedua, tentang teror sebagai sebuah taktik. Mampukah sebuah gerakan marxis mengadopsi teror sebagai sebuah gaya tindakan meskipun bersifat sekunder atau subordinat terhadap perjuangan politik (lebih tepatnya apa yang disebut strategi Pol-Mil kita)?

Apabila menjadi sekunder atau subordinat terhadap strategi perjuangan politik "berarti bahwa tujuannya adalah untuk menstimulai atau mengilhami perjuangan massa, apa yang dikatakan Lenin selama perdebatan panjang dengan kaum bourjuis kecil sosialis revolusioner pada tahun 1902. Lenin mengkritik mereka atas pembunuhan pejabat Tsar kaum Sipyagin (meskipun dia mengakui tindakan itu sebagai sebuah tindakan yang menarik simpati paling tidak seluruh kesadaran politik kaum pekerja). Lenin mengklarifikasi sikap oposisinya:

Tanpa sedikitpun mengingkari kekerasan dan terorisme secara prinsipil - kami tidak menolak penggunaan aksi teror secara prinsipil (SM)-, kami dituntut kerja untuk mempersiapan semacam pasukan terhadap kekerasan sebagaimana yang telah diperhitungkan untuk menimbulkan partisipasi langsung dari massa dan yang menjamin partisipasi itu. 9

Lenin memperlihatkan bahwa jenis tindakan "perang tunggal" kaum sosialis revolusioner ini telah dengan segera berdampak terhadap menciptakan sebuah sensasi kehidupan yang pendek, sementara secara tidak langsung hal itu menimbulkan sikap tak acuh dan penantian yang pasif (terhadap massa) untuk penderitaan selanjutnya.

Trotsky, yang menjadi komandan Tentara merah pada saat Revolusi Rusia, menilainya dalam pengertian :

Terorisme individu justru tidak dapat diterima sebagai alasan bahwa itu menurunkan massa dalam kesadaran mereka sendiri, satukan ketidakberdayaan mereka dan balikan mata mereka dan berharap untuk sebuah kekuatan besar penuntut balas dan pembebas yang suatu hari akan datang dan menyelesaikan misinya. 11

Dia menambahkan:

Partai kaum proletar bukan mengambil metode secara artifisial seperti membakar gudang, merencanakan pemboman, sabotase kereta api, dll. agar supaya mampu menaklukan pemerintahannya sendiri. Meskipun sukses...penaklukan dengan cara militer tidak akan membawa pada kesuksesan revolusioner, sebuah kesuksesan yang sesungguhnya hanya oleh gerakan independen kelas proletar 12 .

(Beberapa kelompok mungkin mendapatkan kutipan Trotsky kami yang bisa di cela dan menjadi bukti bahwa kami kaum Trotsky - sebuah fitnah yang berkembang terhadap kami oleh CPP. Cukup untuk dikatakan bahwa kami mengetahui kami kaum Trotsky. Kami mengkritik keras terhadap pandangan terakhir tentang "revolusi permanen" sementara kami mengakui kontribusinya yang besar sekali terhadap teori marxis karya-karyanya seperti Sejarah Revolusi Rusia dan Revolusi Dikhianati).

Hal ini juga mencatat pelajaran bahwa antara sebuah operasi militer yang heroik (dari “tipe perang tunggal”) dan sebuah demonstrasi politis, Lenin mempertimbangkan yang terakhir sebagai sebuah “aksi revolusioner sejati” dibandingkan dengan sebelumnya. Selama pemogokan di Rostov on Don (1902) di mana 6 pekerja terbunuh dan upacara pemakaman mereka sebagai alasan untuk demonstrasi politik para pekerja, Lenin melakukan ini untuk mengatakan menentang pernyataan dari kaum Sosialis Revolusioner bahwa pekerja itu mati dengan sia-sia begitu saja:

(SR mengatakan bahwa) Hal itu mungkin bisa lebih bijaksana jika ke enam kawan yang telah menyerahkan hidupnya dalam sebuah upaya dalam kehidupan individual polisi yang kejam... bagaimanapun, kami berpendapat bahwa hanya gerakan massa (demonstrasi politik-SM), di mana kesadaran politik dan aktivitas revolusioner yang terus meningkat secara terang-terangan menyatakan pada seluruh klas pekerja, yang layak disebut tindakan revolusioner sejati dan mampu sungguh-sungguh mendorong setiap orang yang berjuang demi revolusi Rusia. 13

Ketika Teror Bisa Diterima

Jika Marxis menolak terrorisme sebagai strategi dan bahkan menolak teror sebagai taktik, kapan penggunaan aksi terror bisa diterima?

Pertama. Menurut Lenin, ketika berdasarkan perhitungan yang menimbulkan keterlibatan langsung massa dan menjamin keterlibatannya. Berarti, pada saat sebuah tindakan kecil militer yang mendukung aksi massa, ketika menjadi subordinat pada dan ditopang oleh aksi yang populis atau oleh perjuangan massa. Ketika pada kenyataanya hampir sebagian dari gerakan massa, atau ketika aksi itu sendiri adalah permulaan untuk mendapatkan suatu karakter massa. Bagi Lenin:

Terror merupakan salah satu dari bentuk tindakan militer yang mungkin benar-benar cocok dan essensial pada kepastian waktu dalam peperangan, memberikan kepastian negara terhadap pasukan dan adanya kepastian kondisi. Tetapi poin yang penting adalah bahwa teror, pada saat ini, (perhatikan, siapa saja yang mengakui strategi PolMil !-SM) adalah bukan berarti mengusulkan seperti sebuah operasi tentara di medan pertempuran, sebuah operasi yang lebih dekat hubungannya dengan dan diintegrasikan pada seluruh sistem perjuangan, tapi sebagai sebuah bentuk serangan berkala yang independen tidak berhubungan dengan angkatan bersenjata apapun 14 .

Hal ini yang dikenal dan disebut Lenin untuk penerapan aksi gerilya pada 1905-1906 (contoh; selama puncak revolusi rusia I). Tetapi kemudian Lenin mengenal ini sebagai "bagian, bersifat sekunder dan alat bantu pada bentu utama dari perjuangan massa (yang mengambil bentuk karakter memobilisasi massa) seperti pemogokan yang politis dengan perlawanan barikade lokal, perlawanan barikade massa dan pemberontakan bersenjata, perjuangan parlementer damai, pemberontakan sebagian militer, pemberontakan sebagian petani.

Dalam kecamannya pada kaum populis SR (yang telah membangun "daerah otonomi dan kelompok bersenjata bawah tanah" melakukan operasi militer di kota-kota), Lenin mengatakan bahwa hanya ketika RSDLP (Partai Sosialis Revolusioner Rusia Lenin) yang langsung memimpin massa yang mampu merapikan perjuangan bersenjata jalanan.

Bagi kaum marxis, sudah jelas bahwa tindakan terorisme itu (aksi gerilya) harus menjadi subordinat dan disokong oleh perjuangan massa. Sebagaimana terorisme di sini tidak akan lama halnya. Perbedaannya adalah sangat fundamental ketika hal itu menjadi bagian dan paket terhadap meradikalisasi gerakan massa.

Kedua. Selama periode "tahap revolusioner terbuka", masing-masing; periode insureksi, kebangkitan atau perang sipil. Kondisi ini menjadi faktor utama dalam mendorong sebagian kecil aksi militer yang membantu aksi massa. Bagaimanapun, aksi ini terpisah dari perjuangan massa dan hanya sebagai pelampiasan/kenekatan sekelompok kecil atau beberapa individu, misal; kaum Ultra Kiri dalam karakter politiknya. Aksi semacam itu tidak memajukan tapi hanya menghalangi perkembangan perjuangan massa saja.

Pengalaman orang-orang Vietnam merupakan pelajaran bagi kita bahwa kombinasi PolMil yang dilakukan oleh VCP berkembang hanya pada saat periode insureksi yang didorong oleh agresi imperialis yang sebenarnya (melalui invasi langsung dan pendudukan). Pengalaman Rusia dimana Lenin dan Bolsheviks memerlukan aksi gerilya di kota-kota terjadi pada puncak revolusi 1905. ( Lenin menggunakannya lagi tahun 1906 karena Ia pikir kebangkitan akan berlanjut). Penggunaan aksi gerilya, bagaimanapun, tetap sekunder terhadap perjuangan massa-pemogokan politis, barikade massa dan bahkan perjuangan parlementer yang menarik keterlibatan massa.

Jika semangat insureksi diantara massa merupakan syarat bagi perjuangan PolMil, suatu situasi perang sipil merupakan syarat untuk tumbuh dan berhasil baik. Perang sipil adalah sebuah perang, dan sudah menjadi hukumnya. Dalam perang sipil, peledakan bom, sabotase, dan bentuk-bentuk teror lainnya tidak dapat dihindari. Perang sipil merupakan suatu macam situasi perjuangan massa yang paling besar, dan biasanya ditandai oleh kombinasi pemberontakan spontanitas di tingkat lokal, sebuah kudeta berdarah oleh kekuatan kontra-revolusioner, pemogokan umum yang revolusioner, insureksi untuk merebut kekuasaan dan lain-lain.

Perang sipil merupakan situasi puncak dari perjuangan massa, yang meliputi tidak hanya situasi pra-revolusioner tapi sebuah satu keutuhan revolusioner dimana masalah merebut kekuasaan negara merupakan tujuan sesungguhnya bagi massa. Lalu, kita dapat memetakan situasi yang berkenaan pada tingkat perjuangan massa, atau di tingkat luas dan militansinya: sebuah situasi non-revolusioner adalah suatu tahap dimana perjuangan massa masih baru dimulai, sebuah situasi pra-revolusioner adalah ketika situasi dapat menambah luas dan militansi dengan cepat (periode kenaikan); dan tahap revolusioner penuh adalah ketika perebutan kekuasaan negara menjadi sikap yang jelas pada massa luas.

Hukum perang kediktatoran Marcos di Philipina jelas sebuah periode perang sipil, perang yang dimulai oleh sebuah kelompok klas penguasa sendiri. Kondisinya kemudian berkembang menjadi pertikaian yang tak terhindarkan terhadap kekuatan klas (dimana dibelokan oleh kaum bourjuis liberal yang memimpin dalam pemberontakan Edsa tahun 1986). Kami perhatikan di sini, bagaimanapun, dengan kelangsungan hidup perang gerilya yang pernah dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Rakyat Baru (NPA) dari CPP meskipun sebelum keadaan perang atau periode perang, misal: tahun 1968.

Pada saat periode perang sipil, hal yang tidak bisa dihindari dan kebutuhan akan perang gerilya adalah kejelasan sikap-bukan hanya ketentuan skenario strategi PPW, tapi juga suatu skenario PolMil atau insureksi. “Kebutuhan minimum” untuk memimpin aktivitas gerilya yang ada, seperti yang dikatakan Che Guevara. ( kebalikan dari “image romantis” Che, revolusioner teladan ini telah menulis bahwa ada “kebutuhan minimum” untuk memimpin aktivitas gerilya. Dia merujuk pada situasi perang sipil, dimana “rakyat......melihat jelas kegagalan dari melanjutkan perlawanan untuk tujuan sosial dalam kerangka debat sipil” atau “ketika kekuatan penindasan datang untuk mempertahankan kekuasaan dengan melawan orde yang berkuasa”, dan “ketika perdamaian dihancurkan”. Dia menambahkan, “Dalam kondisi ini, ketidakpuasan diekspresikan dalam bentuk yang lebih aktif. Sebuah sikap pertahanan yang akhirnya mengkristal dan pecah dalam perkelahian, diprovokasi oleh tindakan yang berwenang”.

Tidak heran jika aktivitas gerilyawan NPA mencapai puncaknya selama kediktatoran Marcos, khususnya selama tahun 1980-an atau periode terakhir si rejim, saat ketidakpuasan umum merebak aktif di seluruh kota dan desa. Juga selama periode saat aktivitas gerilya di pedesaan berbalik ke arah kota (“unit burung gereja” di Mindanao dan ABB di Metro Manila). Aktivitas gerilya telah mendapat bahan bakar dengan pertumbuhan pertahanan massa terhadap kediktatoran

Tetapi dalam kondisi saat ini, bahkan “kebutuhan minimum”-nya Che terasa berat. Che mengatakan:

“Ketika sebuah pemerintahan mendapat kekuatan melalui pemilihan suara, curang atau tidak, dan mempertahankan pada akhirnya sebuah konstitusi legal, penggunaan gerilya tidak dapat ditampilkan, sejak kemungkinan perjuangan damai masih belum kehabisan tenaga”

1986 adalah saat menentukan di Filipina. “Revolusi Edsa” adalah kebangkitan rakyat cum pemberontakan militer. Yang terjadi sebenarnya hanyalah revolusi politik dimana sebuah faksi baru klas borjuis mengambil alih kekuasaan. Situasi perang sipil diakhiri dengan berkuasanya borjuis yang diwakili Cory Aquino dari faksi liberal. Dengan sederhana mereka merubah perkembangan ledakan revolusioner menjadi kontra revolusi dengan menghilangkan kekuatan rakyat dan menggunakan kembali undang-undang perang yang lama, lengkap dengan perangkatnya (kongres dan konstitusi borjuis). Yang harus disalahkan atas kemenangan kontra revolusi adalah strategi PPW yang dilancarkan CPP, yang mengabaikan pengumpulan massa dan situasi insureksioner di kota dengan tetap berpegang pada skema membebaskan desa lebih dulu.

Berkembang sebuah situasi baru, tetapi membutuhkan waktu lebih dari satu dekade lagi bagi kiri revolusioner di Filipina untuk mencatat perubahan di arena politik. Sebuah pengujian kembali pada strategi CPP telah mempimpin pada berbagai pandangan tentang bagaimana gerakan revolusioner mampu merespon perubahan skenario. Bagi CPP (atau yang tersisa dari perpecahan di tahun 1992) kegagalan strategi bersumber pada kebijaksanaan yang salah pada “penetapan” tentara rakyat dan “insureksionisme” dari beberapa unit partai di kota.

Bagi yang tertinggal di CPP, kepribadian beberapa kelompok dan pendiri partai adalah popdem (demokrasi populis) dibawah Boy Morales dan menggiring ke kanan ketika mengadopsi “strategi masyarakat sipil” yang liberal dan bergaya (diantara kelompok lsm). Sebagian yang tetap berpegang pada kerangka marxis-leninis, bagaimanapun juga, mulai memajukan strategi pol-mil.

Satu alasan untuk memajukan strategi pol-mil dalam konteks saat ini adalah ketidakstabilan peran borjuis liberal telah memberi tendensi otoritorian pada rejim Estrada dan pertumbuhan divisi-divisi antara faksi-faksi kelas penguasa (bahkan beberapa dari mereka mencoba mengkudeta atau meng-impeach Estrada). Tetapi bahkan kini, saat terjadi “krisis pemerintahan” (bukan krisis negara), ketika tuntutan pengunduran diri Estrada semakin menguat, kita tidak dapat mengatakan bahwa situasi pra-revolusioner telah terjadi. “Krisis” pada tahap ini tidak mengindikasikan bangkitnya perjuangan massa atau pendahuluan dari fase revolusioner terbuka yang mana perjuangan massa mensikapi gugatan tentang negara (modus revolusioner kiri tentu saja hal yang berbeda).

Sebagai kesimpulan, sebagai kaum marxis kita tidak menentang penggunaan tindakan teror (atau aksi gerilya) dibawah kondisi insureksi atau perang sipil. Bagaimanapun juga, kita menentang tindakan teroris-baik sebagai strategi maupun taktik-baik, tindakan yang dilakukan diluar konteks situasi insureksi atau perang sipil atau tindakan yang dilakukan individu atau sekelompok kecil yang terpisah dari perjuangan massa bersenjata.

Pol-Mil Lawan Strategi Perjuangan Massa

Jelas bahwa srategi pol-mil sama membingungkannya dengan strategi PPW. Masalahnya adalah keduanya memasukkan bentuk spesifiknya pada tuntutan strategi. Sehingga pada akhirnya, keduanya menempatkan perjuangan militer setara dengan perjuangan massa.

Bagi kaum marxis, penggunaan yang tepat atas perjuangan militer tergantung pada level perjuangan massa, keluasan dan militansi. Itulah mengapa Sosyalistang Partido ng Paggawa (SPP) memutuskan strategi sesuai perkembangan massa. Strategi perjuangan massa ini mencakup perbedaan bentuk dari mobilisasi langsung massa, atas aksi langsung oleh massa.

Strategi mengacu pada pembatasan musuh utama, kekuatan motif revolusi dan kekuatan yang beraliansi dengan proletar pada sebuah titik waktu adalah tentu saja mendiskusikan strategi dalam rencana yang terprogram. Termasuk analisa tentang karakter, tugas dan penggabungan kekuatan kelas sebagai periode dari revolusi proletar.

Tetapi strategi yang mengacu pada tujuan untuk merebut kekuasaan oleh proletar, yang memasukan bentuk dan metode dimana proletar dapat memenangkan kekuatan-sebuah strategi yang dibangun pada tuntutan program seperti yang disebutkan diatas (untuk ini berbeda di tiap negara tergantung pada kondisi spesifik pada formasi sosioekonomik dan perimbangan kekuatan kelas) - adalah sebuah strategi yang menggunakan perkembangan dinamis atas perjuangan kelas.

Untuk pertama kali strategi ini digunakan oleh gerakan komunis internasional adalah pada dokumen Kongres Ketiga dari Internasionale Ketiga tahun 1921 (Counterpose the Strategy of the Proletariat to the Strategy of Capital). Pada titik waktu, strategi modal dihadirkan sebagai strategi perang, dari persiapan untuk perang sipil:

Kongres Ketiga Komunis Internasional mengingatkan seluruh komunis bahwa perjuangan proletar untuk kekuasaan dikuatkan oleh kenyataan bahwa kelas-kelas penguasa dan pemilik memiliki strategi yang mapan, saat kelas pekerja mulai mengembangkan strategi

Bunyi peringatan itu:

Jika (partai) pelopor tidak dalam posisi untuk mencegah sebuah pertarungan dan jika pertarungan ini memiliki potensi percepatan mobilisasi dari seluruh kelas pekerja, maka kapitalis harus diterima sebagai tantangan. Tetapi (partai) tidak boleh melupakan selama partai berjalan sendiri dan terisolasi, maka partai tidak boleh terlibat dalam pertarungan yang krusial; Jika pelopor yang terisolasi tidak punya pilihan lain selain bertarung, tetap harus dihindari konfrontasi bersenjata dengan musuh, untuk meyakinkan bahwa hanya massa yang dapat memastikan kemenangan kaum proletar atas penjaga tentara putih.

Usulan strategi bagi kaum proletar adalah:

Aksi harus dipersiapkan dan diorganisir dalam suatu cara dimana massa luas mengenali perjuangan sebagai satu kebutuhan terbesar mereka yang kemudian menjadi gerakan.......mengilhami kampanye agitasi massa yang mencapai dan membangkitkan seluruh seksi kelas pekerja......larut dalam kerja organisasional yang energetik yang memperkuat pengaruh partai pada massa luas dan memungkinkan sebuah evaluasi mendalam mengenai perjuangan.....dan .....mengadopsi taktik mundur ketika musuh mempunyai kekuatan yang lebih besar dan menyerang ketika kekuatan musuh tercerai-berai dan massa bersatu......

Menuju strategi perebutan kekuasaan negara, dua tugas besar yang saling berhubungan yang penting adalah: 1. Memenangkan kesadaran - kelas dari kelas pekerja (pelopor proletar) menjadi gerakan komunis; dan 2. Memenangkan massa luas dari kelas pekerja menuju revolusi (terdiri dari berbagai bentuk dan metode yang dibutuhkan guna mendidik, mengorganisir dan memobilisasi massa). Dalam kedua hal tersebut, kuncinya adalah mobilisasi langsung massa kelas pekerja dan pengalaman langsung dalam perjuangan.

Dalam hal ini, tugas strategis dapat diformulasikan sebagai berikut: untuk membangun sebuah partai sosialis revolusioner yang berbasiskan massa yang mampu menyatukan, memobilisasi dan memimpin kelas pekerja dan sekutunya dalam perjuangan untuk kekuasaan politik. Bangunan partai menjadi faktor utama dalam strategi, sebagaimana strategi itu dijalankan oleh partai

Dalam hal ini juga bahwa taktik (sebagai bentuk perjuangan) merefleksikan strategi perjuangan massa; salah satunya, mobilisasi langsung atas massa pekerja harus menjadi perspektif. Yang akan mengambil bentuk aksi massa langsung melalui pemogokan, demonstrasi, rally, barikade dsb, dan pengembangan organisasi massa dalam bentuk baru yang secara organisasi independen dari negara kapitalis.

Bentuk perjuangan ini dan karakter organisasi massa mandiri berkembang melalui perjuangan kelas yang dinamis. Bentuk perjuangan bertahap dari mulai pemogokan lokal hingga pemogokan umum, rally hingga barikade jalanan, demonstrasi hingga pengambil alihan pabrik. Selama periode non-revolusioner, organisasi massa mengambil bentuk serikat organisasi komunitas, asosiasi petani dan semacamnya. Ketika periode revolusioner meninggi, bentuk organisasi terbaru dikembangkan yang menandingi kekuasaan negara atau prototype kekuasaan negara (jika tidak merupakan “dual power”), seperti sovyet atau dewan pekerja.

Bentuk utama dari perjuangan berbeda pada tiap titik waktu dan tidak dapat menjadi “universal” untuk menjawab seluruh situasi (ide bahwa perjuangan bersenjata atau perang gerilya adalah selalu menjadi bentuk pokok dari perjuangan revolusioner). Hal ini hanya dapat dikarakterisasikan sebagai salah satu yang dijalankan oleh strategi perjuangan massa, atau salah satu yang langsung menghubungkan massa kelas pekerja menuju tujuan revolusioner.

Sebagaimana-pada titik waktu kini - perjuangan massa atau aksi massa langsung melalui pemogokan, rally, demonstrasi dan aksi protes militan lainnya hanya dapat menjadi bentuk primer dari perjuangan. Hal-hal tersebut bukan hanya aksi protes “biasa”, seperti yang dilihat oleh yang lainnya. (masalah yang ada dengan banyak kelompok kiri di Filipina adalah bahwa pandangan politik mereka dalam demonstrasi dan rally hanya sebatas “kalender kegiatan” untuk kekuataan progresif. Demonstrasi politik disini berbeda dengan pengembangan perjuangan kelas. Kegiatan propaganda yang harus bertujuan untuk memenangkan garis politik kita pada barisan massa termaju (atau pada periode mempertinggi perjuangan kelas, mengagitasi massa untuk melakukan aksi langsung) tidak dianggap penting. Banyak kegiatan propaganda hanya bersifat kondisional bagi kelompok kiri untuk mengadopsi sebagai sifat organisasional

Berbagai bentuk perjuangan massa, seperti pemogokan, rally dsb, tidak dapat diturunkan menjadi peran kedua (pada perjuangan bersenjata) karena hal tersebut berdasarkan pada prinsip perjuangan kelas proletar:

1. Senjata terhebat yang dimiliki oleh kelas pekerja dalam menggulingkan kapitalisme adalah kekuatan aksi bersama/kolektif dengan jumlah yang besar dan peran ekonominya dalam masyarakat.

2. Hal ini terutama melalui partisipasi langsung mereka dalam perjuangan yang mengajarkan massa dan mengembangkan kesadaran kelas.

Di sisi lain, ada bentuk perjuangan yang secara alami bukan dalam lahan perkembangan revolusioner politik dari massa atau bentuk yang dijalankan oleh sekelompok kecil elitis yang kadang menutupi pengembangan partisipasi massa. Salah satunya adalah perjuangan parlementer atau mengikuti pemilihan melalui perwakilan institusi dari demokrasi kapitalis, baik parlemen atau badan populer terpilih lainnya di daerah maupun level lokal. Tetapi ini juga bentuk perjuangan yang dimungkinkan pada periode tertentu. Perjuangan militer atau gerilya dapat juga menjadi sebuah pilihan. Keduanya, bagaimanapun juga, secara keseluruhan subordinat dari bentuk utama perjuangan, yang dihubungkan dengan perjuangan massa.

Strategi dan taktik perjuangan massa juga berada dalam pengorganisiran partai untuk rally. Demonstrasi dan aksi massa militan lainnya. Hal ini melibatkan pengorganisiran perjuangan kelas dari massa secara spontan pada level yang lebih tinggi. Hal ini berarti ikut campur dalam perjuangan massa yang sudah terjadi secara spontan dan mengembangkan perjuangan lebih jauh melalui pendidikan, organisasi dan mobilisasi pada sebuah level yang dapat mengangkat hubungan antar kekuatan kelas dari massa yang bervariasi.

Ini hanya pada saat perjuangan massa memasuki fase revolusioner terbuka, baik dari fase insureksi - atau selama periode perang sipil - dimana bentuk perjuangan militer menjadi kebutuhan dan tak terelakkan. (Dalam kasus bangsa yang tertindas dibawah pendudukan militer secara efektif oleh negara penindas, hak untuk mempertahankan diri dan pertahanan bersenjata juga menjadi kebutuhan dan tak dapat dihindari).

Bagaimanapun juga, memegang prinsip bahwa aksi massa langsung adalah bentuk aksi paling efektif (sebuah prinsip yang lahir dari fakta bahwa revolusi adalah aksi pembebasan yang dilakukan oleh seluruh kelas pekerja itu sendiri, bukan hanya oleh partainya), SPP percaya pada pandangan bahwa perjuangan militer harus melibatkan massa. Hal ini berarti mempersenjatai massa di pabrik-pabrik mereka, komunitas atau dimanapun mereka berada, seperti akhirnya pada perang sipil. Partai kemudian harus menggunakan setiap kesempatan untuk melatih dan menyiapkan massa pada akhirnya.

Catatan:

1. Truong Chinh, Selected Writings, Foreign Languages Publishing House, Hanoi, 1977, p. 602

2. ibid, p. 606

3. ibid, p. 607

4. ibid, p. 602

5. ibid, p. 603

6. ibid, p. 604, Italics ours.

7. ibid, p. 606, Italic ours.

8. ibid, p. 607, Italic ours

9. V. I. Lenin, Collected Works, Vol. 6, p. 195

10. ibid, p. 193

11. Leon Trotsky, Against Individual Terrorism, p. 7

12. Writings of Leon Trotsky, 1938-39, p. 6

13. Lenin, CW, Vol. 6, pp. 279-80

14. Lenin, CW, Vol. 5, p.19

15. Lenin, CW, Vol. 11, p. 215

16. Lenin, CW, Vol. 6, p. 262

17. Che Guevara, Guerrilla Warfare, Penguin Books, London, 1969, p. 14

18. ibid, p. 14

19. Theses, Resolutions and Manifestoes of the First Four Congresses of the Third International, Pluto Press, London, pp. 303-4

20. ibid, p. 304

21. ibid, pp. 304-5



1 komentar:

ISU-ISU HI mengatakan...

Makasih udah memposting tentang ini..Slm knal..
.