Sabtu, 09 Agustus 2008

PENANGKALAN: KONSEP, STRATEGI, INTERAKSI, DAN STRUKTUR PENYANGGA KONFLIK

Pengantar
Seperti halnya dengan konsep-konsep lain dalam studi strategis, perkembangan konsep dan strategi penangkalan (deterrence) sangat dipengaruhi oleh penemuan-penemuan baru dalam teknologi militer. Pergeseran itu terutama tampak dari karakter kebijakan penangkalan (deterrence policy) yang, terutama setelah Perang Dunia 11, semakin mengarah ke kebijakan yang bersifat ofensif. Meskipun demikian asumsi-asumsi lama mengenai penangkalan masih tetap berlaku, dan penangkalan hanya berubah dari segi struktur penyangga serta interaksinya.
Beberapa saat setelah Perang Napoleonic, Clausewitz mengatakan bahwa "jika anda ingin menekan pihak lawan anda, maka suatu hal yang mau tidak mau harus anda lakukan adalah menempatkannya pada suatu kedudukan yang sedemikian rupa sehingga ia akan merasa harus mengurbankan sesuatu yang lebih besar daripada apa yang anda kurbankan" (Clausewitz, 1976: 77). Kemampuan defensif menjadi pilar penyangga utama strategi penangkalan. Namun pandangan semacam perlu dikaji lebih mendalam. Sebab, senjata-senjata strategis baru --seperti pesawat terbang jarak jauh, rudal balistic antarbenua, dan senjata-senjata thermonuclear-- memisahkan kernampuan ofensif dari kemampuan defensif (Powell, 1990: 11).

Konsep dan Strategi Penangkalan
Penangkalan pada umumnya didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara menggunakan ancaman kekuatan militer untuk mencegah negara lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, dengan meyakinkannya bahwa biaya yang harus ditebusnya jauh lebih besar dibanding peluang keuntungan politik mungkin yang dapat diraihnya (Schelling, 1966: 3). Dari definisi seperti itu terlihat beberapa asumsi pokok dari konsep penangkalan. Yang terpenting adalah:

a.watak defensif : penangkalan adalah suatu strategi yang bersifat defensif, dalam pengertian bahwa interaksi strategi (strategic exchanges) baru berlangsung pada saat dan/atau setelah terjadi serangan pertama (first-strike) dari pihak lawan.
b.penggunaan serangan balasan, dan dengan demikian mengandalkan pada persenjataan yang masih dapat diselamatkan dari serangan pertama pihak lawan.
c.Rasionalitas dan mirror-image: bahwa pihak lawan berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya. Dalam konteks ini keberhasilan strategi penangkalan berkaitan dengan kemampuan meyakinkan pihak lawan. Secara tidak langsung ia berkaitan dengan pentingnya pemahaman suatu negara mengenai tingkat toleransi biaya yang masih bisa ditanggung oleh pihak lain.

Dalam beberapa hal masih dapat dibedakan konsep penangkalan satu dengan yang lain. Dari segi ruanglingkup "interests" yang dianggap vital, misalnya, strategi Amerika Serikat mengenal istilah core deterrence dan extended deterrence, yang pertama hanya membatasi vital interest pada kelangsungan hidup Amerika Serikat sebagai suatu negara-bangsa; yang kedua, memasukkan Eropa Barat sebagai bagian dari strategi penangkalan Amerika Serikat itu. Selain itu, dari segi pilihan strategi yang akan dilakukan, dikenal istilah central deterrence dan first-strike stability. Central deterrence menganalisa dalam situasi seperti apa suatu negara tergoda untuk melakukan serangan pertama. Penangkalan dinilai gagal jika, misalnya, Gedung Putih atau Kremlin meyakini bahwa pihak lawan beranggapan bahwa serangan pertama akan jauh lebih menguntungkannya daripada situasi damai (no war).
Dalam situasi seperti itu, pilihan yang dimiliki oleh para pengambil keputusan adalah antara melakukan serangan pertama atau tidak melakukan apa-apa. First-strike stability menganalisa apakah dalam situasi keadaan krisis, seorang permimpin puncak suatu negara dipaksa oleh struktur penyangga penangkalannya sendiri untuk melakukan serangan pertama. Pilihan yang dihadapi adalah antara melakukan serangan pertama atau diserang. Dalam keadaan seperti itu, melakukan serangan pertama adalah pilihan strategis untuk menghindari kensekuensi yang lebih buruk dibanding melakukan serangan balasan. Terlihat bahwa central deterrence lebih bersifat psikis dan politikal, sedang first-strike stability bertolak pada kalkulasi militeristik.

Struktur Penyangga Sistem Penangkalan
Sebagai operasionalisasi strategi, kebijakan penangkalan pada hakikatnya merupakan cara untuk minimalisasi biaya dan maksimalisasi keuntungan. Ini berkaitan dengan jumlah senjata yang akan digunakan dalam serangan balasan, hasil yang mungkin diperoleh dari serangan itu, dan risiko yang harus ditanggung terhadap kemungkinan serangan pertama maupun serangan balasan pihak lawan. Oleh sebab itu ia berkaitan dengan pertahanan (defense), yang pada umumnya didefinisikan sebagai kemampuan fisikal suatu negara untuk minimalisasi biaya yang mungkin harus diderita akibat serangan lawan (Snyder, 1966: 3).
Meskipun berkaitan erat dengan "pertahanan", sesungguhnya "penangkalan" memiliki ruang lingkup konseptual yang berlainan. Mereka dapat dibedakan terutama dari segi bagaimana strategi penangkalan itu akan dilakukan. Dua mekanisme pelaksanaan strategi penangkalan adalah melalui :

a.punishment. Strategi ini menitikberatkan pada senjata ofensif, dalam strategi retaliasi ini sistem pertahanan aktif dan pasif (active and passive defenses) kurang mendapat perhatian. Doktrin MAD, misalnya, beranggapan bahwa penangkalan dapat ditegakkan jika suatu serangan balasan mampu melumpuhkan sebagian besar sasaran non-militer (countervalue). Strategi ini mengandalkan pada serangan balik, dan oleh karena itu efektifitasnya sangat tergantung pada berapa besar jumlah senjata ofensif yang dapat diselamatkan dari serangan pertama (Martell and Savage, 1986: 6).
b.denial. Strategi ini melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah pihak lawan melakukan serangan pada kawasan yang bernaung dibawah kekuasannya. Penangkalan ini dimanifestasikan dalam penggelaran senjata defensif, baik untuk menyerap retaliasi dari pihak lawan maupun menjamin kemampuan serangan keduanya sendiri. Ini didorong oleh doktrin war survival. Sasaran utama dalam retaliasi adalah sasaran militer (counterforce)

Berdasarkan pada (a) dan (b) akan terlihat beberapa kemungkinan lingkungan strategi, yaitu lingkungan strategis yang didominasi oleh struktur ofensif, struktur defensif, dan perimbangan antara keduanya. Termasuk dalam kategori senjata ofensif adalah, antara lain, rudal-rudal balistik, pesawat pembom strategis, rudal jelajah, dan kapal selam bersenjata nuklir; sedang yang termasuk dalam kategori senjata defensif (active defense) adalah, antara lain, anti kapalselam, rudal anti pesawat terbang, dll.

Kebijaksanaan penangkalan dapat ditegakkan dengan cara meyakinkan pihak lawan bahwa serangan pertamanya tidak akan membuahkan hasil seperti yang semula diperkirakan. Ini ditempuh antara lain dengan menggelarkan pertahanan pasif (passsive defense), misalnya dalam bentuk penggelaran senjata ofensif mobil, rudal-rudal berhulu ledak tunggal, penggelaran sistem pertahanan antirudal balistik, dan usaha lain untuk melindungi sasaran strategis (termasuk perlindungan pusat pengambilan keputusan, pusat perkotaan dan pusat pemukiman lainnya).
Tujuan penggelaran sistem pertahanan adalah untuk mengurangi rasio target (target ratio) -- perbandingan antara jumlah senjata lawan yang dapat dihancurkan dengan jumlah senjata yang digunakan untuk melumpuhkan senjata itu. Kecenderungan melakukan serangan pertama semakin besar dengan meningkatnya rasio target (target ratio) dan/atau semakin besarnya tingkat kerawanan senjata ofensif yang dimiliki dari kemungkinan serangan pertama pihak lawan.

Defining and Measuring Cost and Gains
Dua kunci efektifitas strategi penangkalan adalah kemampuan unbuk menimbulkan kerusakan maksimum di pihak lawan dan, pada saat yang sama, mengurangi biaya serendah mungkin di pihaknya sendiri. Ini sangat tergantung pada keandalan serijata ofensif untuk retaliasi, struktur persenjataan (sistem pertahanan), dan pada tingkat kerawanan. Hubungan antara ketiga faktor ini dapat ditulis dalam persamaan
sbb.

Cdiri (Ddiri)x + @ { 1 - (Dlawan)Y}

C : cost
D : aset strategis yang mungkin hancur, 0 D I
@ : 0.3
x, y : 0.75

Variabel C dan D dapat berupa variabel kuantitatif maupun kualitatif. Perhitungan mengenai biaya yang harus dikurbankan, dan sebaliknya juga keuntungan yang mungkin diraih, dapat berbentuk sesuatu yang secara kuantitatif dapat dihitung (misalnya, penguasaan teritorial oleh lawan, kehancuran kekuatan militer, pemusnahan sebagian besar kawasan industri, kurban jiwa manusia) maupun yang tidak dapat dihitung (misalnya, kelangsungan ideologi dan sistem politik tertentu, kedaulatan, kekuatan dan pengaruh).

Analisa Penangkalan
Berbagai teori telah dikembangkan untuk analisa interaksi penangkalan, mulai dari analisa yang mendasarkan pada perhitungan kuantitatif dan penggunaan model-model matematik sampai pada analisa yang menitikberatkan pada perhitungan kualitatif dengan menggunakan model sistem. Tiga tingkat analisa yang penting adalah (Morgan, 1983: pp.51):

a.tingkat individual: analisa ini memusatkan perhatiannya pada aktor-aktor kunci dalam proses pengambilan keputusan. Penangkalan, atau pencegahan perang, dikatakan berhasil karena ia tergantung pada siapa yang berada di singgasana kekuasaan.
b.tingkat group/organisasi: analisa ini beranggapan bahwa birokrasi menentukan persepsi dan tujuan suatu pihak (negara). Penangkalan, oleh karenanya, menjadi persoalan mengenai hubungan antara dua negara yang saling bertentangan di mana proses birokratik-politik di salah satu negara dapat menimbulkan ancaman tertentu yang meningkatkan pengaruh birokrasi di negara yang lain pada kecenderungan untuk tidak melakukan serangan.
c.tingkat aktor nasional: yang mengaggap nation-state sebagai aktor utama dalam interaksi penangkalan. Penangkalan berkaitan dengan erat sebagai upaya untuk menyelamatkan kelangsungan hidup suatu negara-bangsa.

Dalam masing-masing tingkatan analisa itu dapat digunakan lima intervening variables, yaitu polaritas dari struktur internasional (bipolar atau multipolar), technology (titik berat pada teknologi defensif atau ofensif), geography (jauh atau dekat dengan pihak lawan potensial), tujuan politik dari penangkalan (apakah ia memusatkan pada kepentigan survival diri atau juga pada keselamatan diri dan rekan dalam suatu aliansi), dan situasi politik hubungan bilateral.

Penutup
Dari uraian di atas terlihat bahwa perubahan doktrin, konsep, dan strategi penangkalan sangat berkaitan dengan penemuan baru dalam bidang teknologi persenjataan (militer). Penemuan rudal balistik antar benua di pertengahan dasawarsa 1950an, mengubah strategi Amerika dari massive retaliation ke strategi flexible response (1960-1973)). Penemuan dalam bidang teknologi hulu-ledak ganda menggeser yang disebut belakangan ini dan menempatkan strategi counterforce dan war-fighting (1974-1985). Meskipun demikian teknologi dan metode kuantitatif tetap hanya sebagian dari dinamika itu. Persepsi manusia (baca: para pengambil keputusan) mengenai apa yang disebut vital interests dan/atau peripheral interests, dan oleh karenanya merupakan sasaran yang harus dilindungi, mungkin justru lebih mewarnai dinamika pergeseran strategi daripada perhitungan-perhitungan kuantitatif.

Bahan Bacaan

Analisa No. 2 (Masalah Strategi Nuklir) dan No. 6 (Perkaitan Strategi Nuklir). Jakarta: CSIS, 1986.

Friedman, Lawrence. The Evolution ofNuclear Strategy. New York: St. Martin's Press, 1983.

Kent, Glenn and David E. Thaler, “First strike Stability and Strategy Defence”, RAND Projects No. R-3918 AF. Santa Monica: RAND Corporation, October 1990.

Martel, William C. and Paul L. Savage, Stategy Nuclear War: What the Superpowers Target and Why, New York: Greenwood Press, 1986.
Morgan, Patrick M., Deterrence: A Conceptual Analysis, London: Sage Publications, 1983.

Powell, Robert, Nuclear Detterrence Theory: The Search for Credibility, Cambridge: Cambridge University Press, 1990.

Tidak ada komentar: