Kamis, 07 Agustus 2008

Perang, Damai, dan Diplomasi Abad Ke-21

oleh; Juwono Sudarsono

ABAD ke-20 yang berakhir pada 31 Desember 2000 adalah abad yang paling mengesankan sekaligus mengerikan dalam sejarah manusia. Harapan hidup manusia mengalami peningkatan dari 46 hingga 65 tahun, kemampuan tulis baca naik dari 45 persen menjadi 74 persen. Sarana dan prasarana bertambah banyak sedangkan akses pada kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan, papan) berkembang cepat. Pendapatan domestik bruto rata-rata naik dari 200 dollar AS hingga 1.300 dollar AS. Pertumbuhan dan peningkatan memang tidak merata, namun secara umum kemajuan sains dan teknologi, terutama di bidang kedokteran, memungkinkan manusia hidup lebih layak dari abad ke-19.

Akan tetapi, sepanjang abad ke-20 itu sekitar 160 juta manusia tewas akibat perang antarnegara dan tindak kekerasan antarsesama manusia. Perang Dunia I (1914-1918) merenggut 8 juta nyawa prajurit, 20 juta penduduk luka-luka, serta 8 juta orang hilang atau ditawan.

Meskipun perang itu terjadi di Eropa, akibatnya meluas ke daerah-daerah jajahan di Afrika dan Asia. Perang Dunia II (1919-1945) yang berkobar di Eropa dan Asia Pasifik menewaskan 50 juta prajurit dan puluhan juta penduduk tak berdosa; entah berapa puluh juta lagi yang hilang tak tercatat.

Amerika Serikat ikut memenangkan Perang Dunia I melawan Jerman. Tentara Amerika menjadi penentu kemenangan Sekutu atas fasisme Jerman dan fasisme Jepang pada Perang Dunia II. Selama Perang Dingin 1947-1989 dan 10 tahun terakhir 1991-2001 terjadi perang di dalam negara yang menewaskan 15 juta orang. Di Eropa, Afrika, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, tak terhitung jumlah tindak kekerasan yang dilakukan atas nama suku, agama, dan golongan.

Pada awal abad ke-21 dan milenium ke-3, pengaruh dan kekuatan Amerika tak tertandingi. Dengan produksi domestik bruto sebesar 8 trilyun dollar AS, anggaran pertahanan sekitar 340 milyar dollar, ekspor barang dan jasa sebesar 560 milyar dollar setiap tahunnya, Amerika Serikat sebagai kekuatan multidimensional hadir di seluruh pelosok dunia.

Transaksi keuangan dunia yang berjumlah 3,5 trilyun dollar AS sehari sebagian besar berputar dan keluar masuk Amerika. Kekuatan Wall Street, Lembah Silicon, Hollywood melengkapi perangkat kekuatan yang memancar dari kepresidenan di Gedung Putih dan Kongres di Washington DC. Riset yang dilakukan perusahaan-perusahaan serta perguruan tinggi Amerika merajai penelitian bisnis dan pengembangan teknologi. Puluhan ribu tenaga terampil terbaik dari mancanegara bekerja di ratusan ribu usaha besar, menengah dan kecil di Amerika.

Dengan daya pikat ekonomi konsumen dan daya jangkau hiburan musik, film, televisi, dan Internet yang demikian luas, masih perlukah Amerika menempatkan kedutaan besar di luar negeri?

Justru karena Amerika Serikat demikian unggul dalam percaturan internasional pada awal abad ke-21 ini, dua pemikir terbaiknya malah merisaukan peran Amerika di masa mendatang. Akankah Amerika menjadi pemimpin dunia dalam arti yang luhur, yakni mengajak bangsa-bangsa lain untuk menggalang perdamaian dan kemakmuran dengan membagi-bagi berkah ilmu dan teknologi yang diterimanya sebagai keniscayaan sejarah? Ataukah Amerika akan menjadi kemaharajaan, dengan menghalau setiap calon pesaing yang tampil di pentas dunia dengan mengandalkan kekuatan politik, ekonomi dan teknologi militernya?

***

Karena luas dan derasnya segala sesuatu yang serba Amerika hadir di seluruh pelosok dunia itu, Henry Kissinger mengkaji peran Amerika dalam bukunya Does America Need a Foreign Policy? (Simon & Schuster, 2001) yang diberi anak-judul Toward a Diplomacy for the 21st Century. Robert McNamara mengupas keadaan dunia pada abad ke-21 sebagai upaya untuk menghilangkan ilusi besar yang diwariskan Presiden Woodrow Wilson ketika mencanangkan idealisme dan moralisme sebagai prinsip hubungan luar negeri Amerika. Kegagalan Presiden Wilson menerjemahkan gagasan luhur seperti penghormatan terhadap "hukum internasional", "keamanan bersama" dan "hak menentukan nasib sendiri" itulah yang mendorong McNamara untuk merenungkan nasib moralisme dan idealisme melalui karya Wilson's Ghost (Public Affairs, 2001). Anak-judul buku ini pun mencari pelajaran dari pengalaman buruk abad ke-20: Reducing the Risk of Conflict, Killing and Catastrophe in the 21st Century.

Kissinger terkenal sebagai tokoh yang menganut mazhab realis, yang memandang percaturan internasional sebagai wujud alamiah manusia, masyarakat dan negara untuk menaklukkan manusia, masyarakat dan negara lain dengan dalih "kepentingan nasional". Sebagai pengungsi dari Jerman yang kemudian menjadi warga negara Amerika, Kissinger memandang layak bila Amerika menjadi penentu perdamaian dan keamanan internasional. Senjata konvensional dan nuklir adalah andalan utama di bidang politik dan pertahanan, sedangkan bobot ekonomi-keuangannya di lembaga-lembaga seperti Badan Perdagangan Dunia (WTO), Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) ikut membina "sistem ekonomi pasar" yang bertugas menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional Amerika. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) praktis menjadi ajang penerus kepentingan diplomasi Amerika.

Akan tetapi, Kissinger sadar bahwa kesepihakan Amerika dalam bertindak atas dasar kepentingannya yang sempit juga bisa memukul balik. Dari perjanjian Versailles tahun 1919 ia melihat kesalahan Inggris, Perancis, dan Italia, yang terlalu berat menjatuhkan hukuman pada Jerman sehingga bangkit seorang Adolf Hitler yang ingin membalas dendam melalui Perang Dunia II yang dilancarkannya pada September 1939.

Karena itu, selepas akhir Perang Dingin 1989-1991, Kissinger memberi nasihat kepada Presiden George Bush (ayah Presiden Bush yang sekarang) agar Rusia jangan sampai dipermalukan. Janganlah Rusia mengalami kemarahan besar akibat bubarnya Uni Soviet dan runtuhnya faham komunis. Lagi pula, dengan 20.000 hulu ledak nuklir yang masih dimilikinya, kestabilan Rusia amat penting untuk transisi politik dan ekonomi di negeri itu serta di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Pola "membantu musuh untuk menjaga perdamaian dan keamanan" diulangi oleh Menteri Pertahanan William Perry ketika menyusun kerangka bersama tentang hubungan Korea Utara-Korea Selatan pada tahun 1994.

***

Akan halnya Republik Rakyat Cina (RRC), para pengambil keputusan Amerika sepakat bahwa dalam kurun waktu 30 tahun mendatang negeri itu akan menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang menyaingi Amerika Serikat dan Jepang di Asia Pasifik. Pada satu sisi, pasar di RRC adalah peluang emas untuk kepentingan bisnis dan ekonomi perusahaan multinasional Amerika, Eropa, dan Jepang.

Tetapi, bagaimana menyikapi bangkitnya kekuatan dan daya saing ekonomi RRC terhadap industri menengah dan manufaktur Amerika, Eropa, dan Jepang? Apakah cukup membendung dengan memelintir aturan main WTO yang untuk bagian terbesar dipasang untuk membela pemodal Amerika, Jepang, dan Eropa? Dan bagaimana menyikapi kebangkitan tentara RRC di Pasifik Barat, termasuk pembangunan Angkatan Bersenjata RRC yang dapat menentukan perang atau damai di alur-alur laut Asia Timur Laut dan Asia Tenggara? Bukankah konfrontasi Selat Taiwan pada Maret 1995, krisis pemilihan Presiden Taiwan tahun 1996 dan insiden pesawat pengintai EP-3 Amerika di Pulau Hainan bulan April 2001 menjadi pertanda bahwa RRC ingin semakin diperhitungkan sebagai negara besar di kawasannya sendiri?

Agaknya, baik Kissinger maupun McNamara sepakat tentang perlunya para pemimpin Amerika menunjukkan empati terhadap cita-cita negara besar seperti Rusia dan RRC untuk dilibatkan dalam penentuan "keamanan internasional."

Sebagai mantan Menteri Pertahanan, McNamara mengambil hikmah bahwa kekuatan militer bukanlah segala-galanya. Sebagai mantan Presiden Bank Dunia (1968-1981) ia "menebus dosa"-nya semasa Amerika merusak negeri Vietnam dengan memusatkan perhatian pada pengurangan kemiskinan di negara-negara sedang berkembang.

Ketika di Jakarta pada Juni 1968 McNamara pertama kali membuka kantor perwakilan Bank Dunia di suatu negara sedang berkembang maka langkah itu adalah pengakuan bahwa Indonesia merupakan "negara kunci" di Asia Pasifik. Dengan bantuan Jepang dan Eropa Barat, Indonesia di ASEAN dikembangkan sebagai strategi mengimbangi mundurnya Amerika secara bertahap dan terhormat dari Indo Cina.

Kissinger pun mengakui manfaat pengelompokan regional sebagai ajang membangun lingkar-lingkar perdamaian atas dasar kerja sama regional. Negara-negara kunci seperti Brasil, Meksiko, Argentina, Nigeria, Afrika Selatan, Mesir, Iran, Pakistan, dan Indonesia layak dibantu agar persaingan antarnegara besar di tiap-tiap kawasan tidak sampai pecah menjadi perang terbuka. Membantu negara kunci seperti Meksiko, Brasil, Nigeria, India dan Indonesia adalah bagian dari strategi pelimpahan pengaruh Amerika di Amerika Latin, Afrika, dan Asia.

***

Pandangan McNamara lebih luas. Ia melihat Amerika pada abad ke-21 harus memainkan tiga strategi dasar:

Pertama, menjaga perdamaian dan keamanan sambil mengantar Rusia dan RRC sebagai negara besar yang dalam jangka waktu 15-30 tahun memperoleh tempat sebagai pemain tingkat dunia tanpa merugikan kepentingan Amerika. Transisi yang tengah dialami Rusia dan RRC harus mengandalkan kepercayaan bahwa "mengajak adalah lebih baik daripada menampik."

Kedua, Amerika memimpin prakarsa menghidupkan kembali diplomasi multilateral agar di negara-negara sedang membangun tidak terjadi pembunuhan massal atas dasar permusuhan etnik, agama dan kedaerahan. Suatu perhitungan cermat dan terukur harus digalang dengan PBB agar naluri untuk campur tangan atas nama kemanusiaan dilaksanakan dengan kehati-hatian agar tidak terlambat (seperti Rwanda, Burundi, Bosnia) atau tidak memperburuk situasi di lapangan (Irak, Kosovo, dan Macedonia).

Ketiga, Amerika harus mengambil langkah konkret untuk mencegah perang nuklir. Sekiranya Amerika dan Rusia dalam jangka waktu 10-15 tahun mendatang bisa menurunkan jumlah hulu ledak nuklir masing-masing ke tingkat 1.000-1.500, maka perdamaian dunia akan lebih terjamin. Harapan McNamara agaknya ditebas oleh kepentingan para kontraktor Pentagon (Departemen Pertahanan) karena Presiden George W Bush belum lama ini menyetujui program pengembangan pertahanan rudal sebesar 60 milyar dollar AS untuk jangka waktu 10 tahun. Pada akhirnya kompleks industri militer Amerika masih lebih kuat daripada argumen arif seorang mantan pejabat.

Apa makna pandangan Kissinger dan McNamara terhadap Indonesia di Asia Tenggara?

Pertama, berbeda dengan tahun 1967-1977, nilai strategis Indonesia secara nisbi telah turun tajam. Asia Tenggara dan selat dan alur laut Kepulauan Indonesia memang masih penting sepanjang 46 persen perdagangan laut masih harus melintas perairan Indonesia; tetapi kemajuan teknologi informasi dan ekonomi jasa telah mengurangi bobot perdagangan tradisional sehingga geo-ekonomi semakin penting dibandingkan dengan geopolitik.

Kedua, daya saing bangsa lebih ditentukan oleh ada tidaknya pemerintah yang bersih dan tangkas memantau perubahan-perubahan cepat yang dihasilkan oleh lompatan gelombang informasi dan ekonomi pengetahuan.

Ketiga, sarana dan prasarana dasar seperti telkom, bandar udara, bandar laut, perlistrikan dan air bersih mutlak harus menjangkau rakyat banyak. Sebab, tanpa adanya landasan sosial-ekonomi yang kokoh, pemerintahan demokratis tak akan dapat bertahan lama.

Keempat, seluruh anggota masyarakat harus menjadi bagian dari gerakan diplomasi global yang mengejar selisih-selisih keunggulan yang masih kita miliki sebagai potensi pasar maupun sebagai potensi penghasilan barang, jasa, budaya, informasi dan ilmu yang dinikmati oleh masyarakat dunia.

* Prof Dr Juwono Sudarsono, Guru Besar Universitas Indonesia, mantan Menteri Pertahanan.

Sabtu, 30 Juni 2001

Tidak ada komentar: