Kamis, 07 Agustus 2008

Subversi Barat dalam Politik dan Ekonomi Cina

oleh; Mohammad Shoelhi

Ada satu teori yang dianut negara-negara Barat kapitalis dan juga dunia pada umumnya, yang mengatakan bahwa kelancaran aktivitas ekonomi dan keberhasilan perkembangan ekonomi suatu negara ditentukan oleh stabilitas politiknya. Karena itu, suatu negara atau investor baru akan bersedia menanamkan modal atau mengadakan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain, apabila kehidupan politik dalam negeri negara tersebut benar-benar stabil sehingga menjamin investasi dan aktivitas ekonomi yang diinginkan. Berangkat dari teori tersebut, analisis ini mencoba meninjau perkembangan politik dan ekonomi yang tengah berlangsung di Republik Rakyat Cina (RRC).

Ideologi Komunis-Sosialis Masih Kokoh

Sebagai dampak berakhirnya perang Dingin, Nasionalisme dan kesadaran etnis telah menggusur ideologi. Uni Soviet bubar, negara-negara di kawasan Eropa Timur merdeka walau masih di bawah bayang-bayang pengaruh Rusia, Yugoslavia pecah oleh perjuangan nasionalisme, keruntuhan rejim komunis Kuba konon hanya soal menunggu waktu saja, dan ideologi komunis Vietnam kini hanyut oleh liberalisasi ekonomi dan kapitalisasi.

Lantas, bagaimana halnya dengan Republik Rakyat Cina? Ada pendapat kuat mengatakan bahwa RRC tidak akan pecah. Mengapa? Sebab rejim komunis Cina memiliki dasar yang sangat kokoh. Partai Komunis Cina (PKC) merebut kekuasaan di daratan Cina setelah melalui perjuangan sulit, panjang, keras, dan penuh pengorbanan selama 30 tahun sehingga tak akan rontok dengan mudah. Pendapat yang mendukung simpulan ini adalah sifat dari kekuasaan komunis di Cina sendiri. Sebagaimana pernah dikatakan pakar Cina kita, A. Dahana (dalam Persemakmuran untuk Cina), bahwa kinerja kekuasaan paling gemilang dari revolusi komunis Cina adalah keberhasilannya menanamkan pengaruh politik mulai dari tingkat masyarakat terbawah (desa) sampai tingkat teratas.

Dahana lebih lanjut menyatakan, dengan revolusi sosial-politiknya di pedesaan, kaum komunis berhasil membasmi hampir semua golongan gentry dari muka bumi Cina. Mereka digantikan kader-kader PKC yang menerima komando langsung dari pusat. Dengan hadirnya kader-kader ini di segenap lapisan masyarakat, mustahil akan terjadi revolusi anti-komunis di Cina. Selain itu, kesadaran etnis di Cina tampaknya tidak akan menyebabkan perpecahan negara, karena masyarakat Cina adalah masyarakat yang relatif homogen, persentase suku minoritas sangat rendah, sebagian terbesar masyarakat Cina adalah keturunan Han. Ancaman etnisisme semakin kecil, karena sejak 1949 pemerintah Cina mengasimilasikan golongan minoritas tersebut.

Reformasi Ekonomi Kapitalis-Sosialis

Kendati secara politik kekuasaan PKC begitu kokoh, namun apabila ditinjau dari sisi lain PKC belum bisa merasa secured karena ideologi komunis belum mampu membebaskan rakyat dari kemiskinan. Itulah sebabnya mengapa begitu tampil di panggung kekuasaan, Deng Xiaoping memutuskan untuk mengadakan reformasi ekonomi. Membahas program reformasi ekonomi Deng ini mengingatkan kita pada pengalaman pahit Uni Soviet di bawah Mikhael Gorbachev yang gagal menjalankan kebijaksanaan glastnos (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi ekonomi).

Dengan kegagalan Gorbachev, RRC komunis di bawah Deng Xiaoping ternyata tidak mengubah ketetapan kebijakannya, melainkan justru terus menjalankan kebijakan serupa, yaitu kaifan (keterbukaan) dan gaige (reformasi ekonomi). Mengapa RRC demikian? Apakah nantinya RRC tidak akan ambruk sebagaimana Uni Soviet akibat pelaksanaan kebijakan tersebut? Memperhitungkan perkembangan yang terjadi di Cina sejak awal Deng Xiaoping tampil dalam panggung kekuasaan, Ralph D. Sawyer dan Mei Chun (dalam The Seven Military Classics of Ancient China) menyimpulkan bahwa pemikiran Cina modern, dalam banyak hal, sesungguhnya tidak lagi monolitik seperti yang kita bayangkan, akan tetapi telah berkembang sedemikian "dinamis", bahkan jauh lebih berkembang daripada mitra-mitra bisnisnya dari negara-negara Barat.

Kehidupan politik Cina memang masih diatur secara terpusat. Tapi sejak Deng Xiaoping menetapkan kebijakan gaige, perkembangan aktivitas ekonomi Cina menjadi tidak kaku dan malahan longgar. Salah satu ciri reformasi ekonomi Cina adalah penghapusan perencanaan terpusat.

Pembangunan ekonomi secara terpusat dihentikan, dan pemberian otoritas kepada provinsi untuk mengatur sendiri ekonominya termasuk untuk mengundang masuk investasi asing diberi kebebasan. Kebebasan pengaturan ekonomi ini berjalan berdampingan dengan pemberlakuan sistem ekonomi pasar dan penghapusan sistem ekonomi komando. Perubahan yang begitu besar itu telah menyebabkan makin terpojoknya ideologi, dan memunculkan "ideologi versi baru" dan Marxisme-Leninisme yang lebih dikenal dengan nama "kapitalisme sosialis".

Sebagai hasil dari penerapan kebijakan reformasi ekonomi tersebut sejak 1979, kini dapat disaksikan kemajuan ekonomi yang begitu mencolok di dua provinsi sebelah Selatan: Guangdong dan Fujian. Kedua provinsi ini merupakan wilayah yang paling makmur, kehidupan masyarakatnya tidak banyak berbeda dengan kehidupan di Hongkong dan di Taipei. Menyusul dua provinsi tersebut adalah daerah khusus ekonomi seperti Shenzen, Hainan, Zhulai, dan yang lainnya yang memberlakukan sistem ekonomi sangat terbuka, utamanya bagi investasi asing, insentif pajak dan tarif.

RRC sekarang adalah subversi dari Barat di bidang sistem politik, sosial, ekonomi dan ideologi. Tujuan akhir subversi melalui reformasi ekonomi ini adalah untuk mengubah masyarakat kapitalis-borjuis. Menurut Ani Soetjipto (dalam Masa Depan Reformasi Ekonomi Cina), langkah ini ditempuh karena pemerintah RRC menyadari antara lain produk-produk ekonomi Cina memiliki daya saing yang cukup tinggi akibat biaya produksi yang murah. Dari sini Deng sengaja dan secara berani mau melakukan reformasi ekonomi ke arah persaingan pasar bebas yang merupakan alat ekonomi kapitalis.

Komitmen terhadap reformasi ekonomi telah ditetapkan seperti tertuang dalam Laporan Politik Kongres PKC belum lama ini. Para pemimpin Cina bertekad mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya dan mengelola usaha-usaha bersama di Cina. Kendati demikian, biar bagaimana pun, dalam semua kemajuan ekonomi yang dicapai, reformasi ekonomi Cina masih belum meninggalkan sifat dasarnya yang parsial dan sepotong-sepotong dalam melaksanakan liberalisasi. Marketisasi atau privatisasi yang dilakukan - jangan dikira - sama sekali tidak bertujuan untuk mengganti sistem sosialis menjadi sistem kapitalis.

Yang ingin dituju reformasi ini adalah hanya untuk membuat sosialisme bekerja lebih baik dan efisien, dengan adopsi unsur kapitalisme, sehingga bisa melindungi monopoli kekuasaan partai.

Deng Xiaoping sendiri pernah menegaskan di dalam sebuah Laporan Politiknya, bahwa perekonomian berencana terpusat tidak bisa disamakan dengan sosialisme, karena dalam kapitalisme pun ada perencanaan. Dan sebaliknya, suatu ekonomi pasar tidak bisa disamakan dengan kapitalisme, karena sosialisme juga mempunyai pasar. Perencanaan dan pasar, keduanya merupakan ukuran dalam ekonomi. Sifat yang dikandung di dalam kapitalisme dan sosialisme tidak bisa ditentukan oleh derajat mekanisme perencanaan atau mekanisme pasar.

Dalam pandangan Rene L. Pattiradjawane (dalam Bagi Cina Menjadi Kaya Bukan Dosa), bahwa Cina akan bersungguh-sungguh melaksanakan komitmennya terhadap pembangunan ekonomi atas dasar konsep Cina sendiri. Tugas utama "sosialisme baru" ini adalah membangun kekuatan produktif, secara bertahap meningkatkan taraf hidup rakyat, dan tetap meningkatkan kekayaan material rakyat, sehingga tidak akan ada komunisme atau sosialisme dengan kemiskinan, karena untuk menjadi kaya bukanlah sesuatu dosa.

Sementara itu, menurut Davis Shambaugh (dalam Erode Red Rule: Back Socio Economic Change), bahwa dengan ditetapkannya reformasi ekonomi, kini telah terjadi proses transformasi fundamental dalam kehidupan sosial ekonomi Cina. Rakyat Cina sekarang ini lebih tertarik dengan persoalan ekonomi yang pragmatis daripada persoalan politik. Dan itulah yang justru diinginkan Deng dan para pemimpin Cina lainnya.

Reformasi kebijakan Cina memang merupakan kebijakan yang sesuai dan dipastikan mendapatkan dukungan yang langgeng dari rakyat yang pada umumnya sudah lama menginginkan kebebasan kegiatan ekonomi. Sekalipun belum ada legitimasi, anggapan yang berlaku sekarang adalah bahwa membuat kaya rakyat bukanlah tercela, apalagi di tengah-tengah mreka sendiri sudah terdapat daya penggerak ekonomi yang memadai, yaitu ratusan juta ahli wiraswasta berpengalaman dalam manajemen bisnis.

Persoalan baru yang muncul di Cina sekarang ini benar-benar lebih tipikal daripada persoalan masyarakat kapitalis seperti korupsi, kolusi, kriminalitas, pengumbaran seks, pemecatan buruh, pengangguran, kecemburuan sosial dan lain sebagainya. Bagi pemerintah Cina masa kini, sebagaimana dinyatakan Hendra Setya Pramana (dalam Sosialisme Pasar ala Cina), semua persoalan tersebut lebih merupakan persoalan sosial ketimbang persoalan ideologis. Persoalan politis ideologis kini berada di tingkat elit ketika kekuasaan dan legitimasi kekuasaan partai tunggal mulai dipertanyakan. Kekritisan masyarakat kini kuat mencuat. Masyarakat sebagian menghendaki pelanggengan kekuasaan monopoli yang telah dinikmati selama ini, sedangkan sebagian lainnya menginginkan reformasi di bidang politik yang menyertai reformasi di bidang ekonomi.

Menurut pendapat para analis Cina, Cina akan menuju ke arah authoritarian pluralist system di mana pluralisme diizinkan di bidang sosial dan ekonomi namun politik tetap akan bersifat otoritarian, sebagaimana sistem semacam ini banyak diterapkan di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang telah berhasil mengakomodasikan kepentingan pembangunan ekonomi dan juga stabilitas politik.


Peneliti CIDES

http://www.republika.co.id/9608/30/30CINA.062.html

Republika Online

Jum'at, 30 Agustus 1996


Tidak ada komentar: