Sabtu, 09 Agustus 2008

PENANGKALAN: KONSEP, STRATEGI, INTERAKSI, DAN STRUKTUR PENYANGGA KONFLIK

Pengantar
Seperti halnya dengan konsep-konsep lain dalam studi strategis, perkembangan konsep dan strategi penangkalan (deterrence) sangat dipengaruhi oleh penemuan-penemuan baru dalam teknologi militer. Pergeseran itu terutama tampak dari karakter kebijakan penangkalan (deterrence policy) yang, terutama setelah Perang Dunia 11, semakin mengarah ke kebijakan yang bersifat ofensif. Meskipun demikian asumsi-asumsi lama mengenai penangkalan masih tetap berlaku, dan penangkalan hanya berubah dari segi struktur penyangga serta interaksinya.
Beberapa saat setelah Perang Napoleonic, Clausewitz mengatakan bahwa "jika anda ingin menekan pihak lawan anda, maka suatu hal yang mau tidak mau harus anda lakukan adalah menempatkannya pada suatu kedudukan yang sedemikian rupa sehingga ia akan merasa harus mengurbankan sesuatu yang lebih besar daripada apa yang anda kurbankan" (Clausewitz, 1976: 77). Kemampuan defensif menjadi pilar penyangga utama strategi penangkalan. Namun pandangan semacam perlu dikaji lebih mendalam. Sebab, senjata-senjata strategis baru --seperti pesawat terbang jarak jauh, rudal balistic antarbenua, dan senjata-senjata thermonuclear-- memisahkan kernampuan ofensif dari kemampuan defensif (Powell, 1990: 11).

Konsep dan Strategi Penangkalan
Penangkalan pada umumnya didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara menggunakan ancaman kekuatan militer untuk mencegah negara lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, dengan meyakinkannya bahwa biaya yang harus ditebusnya jauh lebih besar dibanding peluang keuntungan politik mungkin yang dapat diraihnya (Schelling, 1966: 3). Dari definisi seperti itu terlihat beberapa asumsi pokok dari konsep penangkalan. Yang terpenting adalah:

a.watak defensif : penangkalan adalah suatu strategi yang bersifat defensif, dalam pengertian bahwa interaksi strategi (strategic exchanges) baru berlangsung pada saat dan/atau setelah terjadi serangan pertama (first-strike) dari pihak lawan.
b.penggunaan serangan balasan, dan dengan demikian mengandalkan pada persenjataan yang masih dapat diselamatkan dari serangan pertama pihak lawan.
c.Rasionalitas dan mirror-image: bahwa pihak lawan berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya. Dalam konteks ini keberhasilan strategi penangkalan berkaitan dengan kemampuan meyakinkan pihak lawan. Secara tidak langsung ia berkaitan dengan pentingnya pemahaman suatu negara mengenai tingkat toleransi biaya yang masih bisa ditanggung oleh pihak lain.

Dalam beberapa hal masih dapat dibedakan konsep penangkalan satu dengan yang lain. Dari segi ruanglingkup "interests" yang dianggap vital, misalnya, strategi Amerika Serikat mengenal istilah core deterrence dan extended deterrence, yang pertama hanya membatasi vital interest pada kelangsungan hidup Amerika Serikat sebagai suatu negara-bangsa; yang kedua, memasukkan Eropa Barat sebagai bagian dari strategi penangkalan Amerika Serikat itu. Selain itu, dari segi pilihan strategi yang akan dilakukan, dikenal istilah central deterrence dan first-strike stability. Central deterrence menganalisa dalam situasi seperti apa suatu negara tergoda untuk melakukan serangan pertama. Penangkalan dinilai gagal jika, misalnya, Gedung Putih atau Kremlin meyakini bahwa pihak lawan beranggapan bahwa serangan pertama akan jauh lebih menguntungkannya daripada situasi damai (no war).
Dalam situasi seperti itu, pilihan yang dimiliki oleh para pengambil keputusan adalah antara melakukan serangan pertama atau tidak melakukan apa-apa. First-strike stability menganalisa apakah dalam situasi keadaan krisis, seorang permimpin puncak suatu negara dipaksa oleh struktur penyangga penangkalannya sendiri untuk melakukan serangan pertama. Pilihan yang dihadapi adalah antara melakukan serangan pertama atau diserang. Dalam keadaan seperti itu, melakukan serangan pertama adalah pilihan strategis untuk menghindari kensekuensi yang lebih buruk dibanding melakukan serangan balasan. Terlihat bahwa central deterrence lebih bersifat psikis dan politikal, sedang first-strike stability bertolak pada kalkulasi militeristik.

Struktur Penyangga Sistem Penangkalan
Sebagai operasionalisasi strategi, kebijakan penangkalan pada hakikatnya merupakan cara untuk minimalisasi biaya dan maksimalisasi keuntungan. Ini berkaitan dengan jumlah senjata yang akan digunakan dalam serangan balasan, hasil yang mungkin diperoleh dari serangan itu, dan risiko yang harus ditanggung terhadap kemungkinan serangan pertama maupun serangan balasan pihak lawan. Oleh sebab itu ia berkaitan dengan pertahanan (defense), yang pada umumnya didefinisikan sebagai kemampuan fisikal suatu negara untuk minimalisasi biaya yang mungkin harus diderita akibat serangan lawan (Snyder, 1966: 3).
Meskipun berkaitan erat dengan "pertahanan", sesungguhnya "penangkalan" memiliki ruang lingkup konseptual yang berlainan. Mereka dapat dibedakan terutama dari segi bagaimana strategi penangkalan itu akan dilakukan. Dua mekanisme pelaksanaan strategi penangkalan adalah melalui :

a.punishment. Strategi ini menitikberatkan pada senjata ofensif, dalam strategi retaliasi ini sistem pertahanan aktif dan pasif (active and passive defenses) kurang mendapat perhatian. Doktrin MAD, misalnya, beranggapan bahwa penangkalan dapat ditegakkan jika suatu serangan balasan mampu melumpuhkan sebagian besar sasaran non-militer (countervalue). Strategi ini mengandalkan pada serangan balik, dan oleh karena itu efektifitasnya sangat tergantung pada berapa besar jumlah senjata ofensif yang dapat diselamatkan dari serangan pertama (Martell and Savage, 1986: 6).
b.denial. Strategi ini melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah pihak lawan melakukan serangan pada kawasan yang bernaung dibawah kekuasannya. Penangkalan ini dimanifestasikan dalam penggelaran senjata defensif, baik untuk menyerap retaliasi dari pihak lawan maupun menjamin kemampuan serangan keduanya sendiri. Ini didorong oleh doktrin war survival. Sasaran utama dalam retaliasi adalah sasaran militer (counterforce)

Berdasarkan pada (a) dan (b) akan terlihat beberapa kemungkinan lingkungan strategi, yaitu lingkungan strategis yang didominasi oleh struktur ofensif, struktur defensif, dan perimbangan antara keduanya. Termasuk dalam kategori senjata ofensif adalah, antara lain, rudal-rudal balistik, pesawat pembom strategis, rudal jelajah, dan kapal selam bersenjata nuklir; sedang yang termasuk dalam kategori senjata defensif (active defense) adalah, antara lain, anti kapalselam, rudal anti pesawat terbang, dll.

Kebijaksanaan penangkalan dapat ditegakkan dengan cara meyakinkan pihak lawan bahwa serangan pertamanya tidak akan membuahkan hasil seperti yang semula diperkirakan. Ini ditempuh antara lain dengan menggelarkan pertahanan pasif (passsive defense), misalnya dalam bentuk penggelaran senjata ofensif mobil, rudal-rudal berhulu ledak tunggal, penggelaran sistem pertahanan antirudal balistik, dan usaha lain untuk melindungi sasaran strategis (termasuk perlindungan pusat pengambilan keputusan, pusat perkotaan dan pusat pemukiman lainnya).
Tujuan penggelaran sistem pertahanan adalah untuk mengurangi rasio target (target ratio) -- perbandingan antara jumlah senjata lawan yang dapat dihancurkan dengan jumlah senjata yang digunakan untuk melumpuhkan senjata itu. Kecenderungan melakukan serangan pertama semakin besar dengan meningkatnya rasio target (target ratio) dan/atau semakin besarnya tingkat kerawanan senjata ofensif yang dimiliki dari kemungkinan serangan pertama pihak lawan.

Defining and Measuring Cost and Gains
Dua kunci efektifitas strategi penangkalan adalah kemampuan unbuk menimbulkan kerusakan maksimum di pihak lawan dan, pada saat yang sama, mengurangi biaya serendah mungkin di pihaknya sendiri. Ini sangat tergantung pada keandalan serijata ofensif untuk retaliasi, struktur persenjataan (sistem pertahanan), dan pada tingkat kerawanan. Hubungan antara ketiga faktor ini dapat ditulis dalam persamaan
sbb.

Cdiri (Ddiri)x + @ { 1 - (Dlawan)Y}

C : cost
D : aset strategis yang mungkin hancur, 0 D I
@ : 0.3
x, y : 0.75

Variabel C dan D dapat berupa variabel kuantitatif maupun kualitatif. Perhitungan mengenai biaya yang harus dikurbankan, dan sebaliknya juga keuntungan yang mungkin diraih, dapat berbentuk sesuatu yang secara kuantitatif dapat dihitung (misalnya, penguasaan teritorial oleh lawan, kehancuran kekuatan militer, pemusnahan sebagian besar kawasan industri, kurban jiwa manusia) maupun yang tidak dapat dihitung (misalnya, kelangsungan ideologi dan sistem politik tertentu, kedaulatan, kekuatan dan pengaruh).

Analisa Penangkalan
Berbagai teori telah dikembangkan untuk analisa interaksi penangkalan, mulai dari analisa yang mendasarkan pada perhitungan kuantitatif dan penggunaan model-model matematik sampai pada analisa yang menitikberatkan pada perhitungan kualitatif dengan menggunakan model sistem. Tiga tingkat analisa yang penting adalah (Morgan, 1983: pp.51):

a.tingkat individual: analisa ini memusatkan perhatiannya pada aktor-aktor kunci dalam proses pengambilan keputusan. Penangkalan, atau pencegahan perang, dikatakan berhasil karena ia tergantung pada siapa yang berada di singgasana kekuasaan.
b.tingkat group/organisasi: analisa ini beranggapan bahwa birokrasi menentukan persepsi dan tujuan suatu pihak (negara). Penangkalan, oleh karenanya, menjadi persoalan mengenai hubungan antara dua negara yang saling bertentangan di mana proses birokratik-politik di salah satu negara dapat menimbulkan ancaman tertentu yang meningkatkan pengaruh birokrasi di negara yang lain pada kecenderungan untuk tidak melakukan serangan.
c.tingkat aktor nasional: yang mengaggap nation-state sebagai aktor utama dalam interaksi penangkalan. Penangkalan berkaitan dengan erat sebagai upaya untuk menyelamatkan kelangsungan hidup suatu negara-bangsa.

Dalam masing-masing tingkatan analisa itu dapat digunakan lima intervening variables, yaitu polaritas dari struktur internasional (bipolar atau multipolar), technology (titik berat pada teknologi defensif atau ofensif), geography (jauh atau dekat dengan pihak lawan potensial), tujuan politik dari penangkalan (apakah ia memusatkan pada kepentigan survival diri atau juga pada keselamatan diri dan rekan dalam suatu aliansi), dan situasi politik hubungan bilateral.

Penutup
Dari uraian di atas terlihat bahwa perubahan doktrin, konsep, dan strategi penangkalan sangat berkaitan dengan penemuan baru dalam bidang teknologi persenjataan (militer). Penemuan rudal balistik antar benua di pertengahan dasawarsa 1950an, mengubah strategi Amerika dari massive retaliation ke strategi flexible response (1960-1973)). Penemuan dalam bidang teknologi hulu-ledak ganda menggeser yang disebut belakangan ini dan menempatkan strategi counterforce dan war-fighting (1974-1985). Meskipun demikian teknologi dan metode kuantitatif tetap hanya sebagian dari dinamika itu. Persepsi manusia (baca: para pengambil keputusan) mengenai apa yang disebut vital interests dan/atau peripheral interests, dan oleh karenanya merupakan sasaran yang harus dilindungi, mungkin justru lebih mewarnai dinamika pergeseran strategi daripada perhitungan-perhitungan kuantitatif.

Bahan Bacaan

Analisa No. 2 (Masalah Strategi Nuklir) dan No. 6 (Perkaitan Strategi Nuklir). Jakarta: CSIS, 1986.

Friedman, Lawrence. The Evolution ofNuclear Strategy. New York: St. Martin's Press, 1983.

Kent, Glenn and David E. Thaler, “First strike Stability and Strategy Defence”, RAND Projects No. R-3918 AF. Santa Monica: RAND Corporation, October 1990.

Martel, William C. and Paul L. Savage, Stategy Nuclear War: What the Superpowers Target and Why, New York: Greenwood Press, 1986.
Morgan, Patrick M., Deterrence: A Conceptual Analysis, London: Sage Publications, 1983.

Powell, Robert, Nuclear Detterrence Theory: The Search for Credibility, Cambridge: Cambridge University Press, 1990.

ANATOMI, DINAMIKA DAN TRANSFORMASI KONFLIK

BAB I

Konflik dapat menjadi alat yang efektif dalam percaturan intemasional. Ia dapat mengemban fungsi sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuatan (power), memelihara kohesifitas internal dan memperluas hubungan ke luar. Kekerasan seringkali merupakan alat yang ampuh untuk bargaining position. Meskipun demikian penyelesaian konflik selalu merupakan tujuan yang secara politik paling diharapkan, karena hal itu mengurangi kurban jiwa manusia, mencegah disorganisasi suatu negara bangsa dan memulihkan stabilitas dalam hubungan luar negeri mereka. Penyelesaian konflik (conflict resolution) adalah suatu jalan menuju perdamaian, sekurang kurangnya perdamaian negatif, dan mempunyai fungsi lain, misalnya menjamin stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan sosial maupun ekonomi.

Pendekatan Studi Konflik. Sebagai bidang kajian yang mempelajari sebab, bentuk dan jenis jenis persengketaan, pada umumnya anatomi konflik menggunakan pendekatan struktural, pendekatan tingkahlaku, dan pendekatan institusional. Pendekatan struktural hampir selalu beranggapan.. bahwa konflik terjadi terutama karena ketimpangan pemilikan sumberdaya, terutama sumberdaya ekonomi dan politik. Pendekatan perilaku lebih banyak mempersoalkan aspek psiko-sosial, antara lain naluri agresi, sosialisasi alat politik, dan fakior-faktor historis.

PendekeLan institusional iebih banyak mempersoalkan kemampuan lembaga-lembaga intemasional untuk menampung aspirasi masyarakat intemasional.

-Komf74. Ketiga pendekatan tersebut diatas bersifat komplementer dan tidak saling mutually exclusive; tidak terdapat satu pendekatan pun yang secara sempurna mampu menjelaskan sebab-sebab terjadinya konflik. Ketimpangan sosial politik dan/atau perbedaan ideologi, misainya, tidak akan menjadi konflik yang berkepanjangan kalau saja terdapat suatu mekanisme untuk memperbaiki distribusi kekuatan sosial politik. Naluri agresi sesuatu negara kecil kemungkinannya merjelma menjadi suatu ofensi jika pihak lawanmempunyai strategi dan struktur penyangga penangkalan yang meyakinkan.

Karena kesulitan itulah maka pada umumnya ahli hubungan intemasional hanya mengatakan bahwa konflik selalu bersifat multi-causal (Jones and Rosen, 1982: 363395). Wallensteen menyebut empat faktor penyebab konflik, yaitu Wpolitik (misalnya sengketa perbatasan), realpe4tik (misalnya mengenai kemampuan militer), kapitalpolitik (misalnya ketimpangan pemilikan sumberdaya ekonomi), dan idealpolitik (misalnya, bentuk-bentuk legitimasi ideologis). Jones dan Rosen menyebut beberapa sebab, antara lain, naluri agresi, kekeliruan persepsi mengenai tingkahlaku dan intensi pihak lawan, internasionalisasi Darwinisme sosial, deprivasi ekonomi, perlombaan senjata, sentimen primordial, dan gangguan terhadap pola perimbangan kekuatan. Secara terpisah maupun bersama-sama dapat menimbulkan konflik kekerasan, baik antar negara (inter-state war) maupun perang saudara (civil-war).

Sifaom,Ww Konflik. Menurut sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik fundamental (fundamental conflicts) dan konflik aksidental (accidental conflicts). Konflik fundamental adalah pertikaian yang berakar pada perbedaan yang mendasar. Konflik jenis ini dapat bersumber pada soal territorial yang mempunyai nilai strategis dan ekonomi penting, tradisUkebudavaan, agama, nasionality. Konflik funaamental mungkin tidak berakhir pada kalah atau menangnya salah satu pihak dalam konflik itu, dan karena sifatnya yang fundamental, konflik jenis ini mungkin berulang kembali. Konflik aksidental, atau disebut juga konflik transiter (transitory conflict) adalah pertikaian yang berkembang karena perubahan lingkungan internasional. Meskipun konflik Jenis ini kecil kemungkinannya untuk terjadi lagi di masa-masa mendatang, ia bisa berakhir dengan kekalaharv'kemenangan bagi salah satu pihak. Masalah ini kemudian membuahkan soal apakah suatu konflik dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan.

T094ogj Konflik. Perbedaan jenis konflik dapat dibedakan menurut beberapa pola dari pengendalian diri yang dilakukan oleh salah satu pihak (self-control) maupun oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (mutual-control). Menurut Anatol Rapoport, konflict dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: perdebatan (debates), permainan (games), dan pergumulan (fights).


a. Ber4ebe-om: pola kon-flik di mana masing-masing pihak sermakali mengubah motif, nilai dan pandangannya mengenai apa yang sesun-guhnya tejadi.

b. Permainan: konflik diasuinsikan sebagai berlangsung dalam suasana rasional yang ditandai dengan takt;k (sincyle moves and short sequence of moves' dan strategi (longer patterns and sequence of moves).

c. pergumulan: Quasy-automatic types of conflict ditentukan oleh dilemma keamanan, eskalasi, akselerasi/deselerasi konflik sebagai akibat

dari biaya, tekanan pollitik domestik, dan ketersediaan sumberdaya dsb. Ter-masuk dalam katoaori ini adalah perang terbatas dan perang total.

Dinamika Konflik : Pengei'olaan Konflik dati Resohisi Kotflik

Antara perdamaian dan peperangan terbentang suatu spektrum yang luas, mulai dari perriyataan-pernyataan yang dinilai kurang bersahabat, persaingan, embargo, boikot, ancaman, intervensi, operasi militer pada tingkat rendah dan terbatas, sampai pada perang terbuka (Wright, 1964: hal. 434). Dengan kata lain, konflik biasanya bersifat eskalatif dan untuk setiap tingkat dapat dijawab dengan menggunakan instrumen (sumberdaya militer maupun non-militer) dan strategi tertentu (solusi militer maupun diplomasi).

Pengelolaan konflik (cotflict management) berpijak pada beberapa prinsip, antara lain membatasi tentang apa yang disebut sebagai kepentingan nasional, menjalin komunikasi dengan pihak lawan, mengekang diri dalam penggelaran. kekuatan militer, memutus akses lawan secara selektif, dan menggunakan strategi ganda diplomasi dan militer. Harus diingat bahwa pihak lawanpun mungkin menggunakan strategi yang sama, sehingga keduabelah pihak berada dalam suatu kompetisi pengambilan risiko (competition in risk-taking).

Penyelesaian konflik (conj7ict resolution) didefinisikan sebagaii suatu proses mencari peluang penyelesaian konflik di mana setiap pelaku tidak lagi merasa perlunya melanjutkan perselisihan dan mengakui bahwa dengan begitu mungkin mereka dapat memperoleh keuntungan tertentu. (Nicolson, 1991: h. 59). Definisi lain mengatakan bahwa penyelesaian konflik adalah sesuatu proses yang berkaitan denganbagaimana menemukan jalan untuk meneakomodasi kepentingan eksplisit dari pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa (Wu;' ~..;.'een, 1991 ~ p. 129).

Tranformasi Konflik. Benarkah konflik dapat diselesaikan? Apakah kemenangan salah satu pihak dalam setiap konflik, atau bahkan perang, dengan sendirinya mengakhiri dinamika persengketaan dan mencegah kemungkinan timbulnya silang selisih yang sama di kelak kemudian hari? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kemudian melahirkan suatu konsepsi baru dalam pengkajian strategi, yaitu transformasi konflik (conflict transformation). Setiap konflik sesungguhnya selalu mengalami transformasi, meskipun usaha-usaha pengendalian tidak memperlihatkan hasil nyata. Beberapa aspek yang dapat'mengalami transformasi adalah pelaku yang terlibat dalam konflik, isyu-isyu utama yang menjadi sumber konflik, aturan konflik, and struktur konflik.

Transformasi pelaku dapat tei:jadi baik karena perubahan politik internal pada salah satu atau keduabelah pihak yang terlibat dalam suatu konflik maupun karena keterlibatan suatu pelaku baru. Yang disebut belakangan ini seringkali lebih menentukan laju transformasi konflik, karena masuknya pelaku baru dalam ajan" sengketa dengan sendirinya memperluas kernungkinan penyelesaian konflik dan mengubah pola bangunan koalisi. Transformasi isyu men-ubah agenda politik dari konflik; ia mengurangi kepentingan relatif dari suatu isyu yang semula mengawall terjadinya konflik dan, pada saat yang sama, meneka.iikan isyu baru yang mungkin merupakan titik-singgung dari kepentingan bersama bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Diantara berbaga-1 kerniirigkinan transformasi -itu, yang paling penting adalah transformasi struktur. Struktur eksternal dari konflik akan mengalami tMnsformasi jika terjadi perubahan distribusi kekuatan diantara para pelaku, atau Jika hubungan diantara mereka mengalami perubahan yang kualitatif sifatnya, Ini bisa melibatkan perubahan dalam huburigan komunikasi- dan kesalingtergantungan antar aktor yang membuka peluang baru berupa isolasi atau inteal-asi aktor dalarri percaturan internasional.

Penutup

Seperti halnya dengan sengketa- sengketa yang lain, perang (violent conflicts) dapat berakhir dengan kemenangan mutlak bagi salah satu pihak (bitter-end conflict), dapat pula berakhir dengan kelangsungan hidup setiap pihak yang terlibat didalarnnya Uoinlsurvival), meskipun tentu saja terjadi pergeseran kedudukan relatif mereka pada situasi pasca-conflict. Perang-perang modern -- sepei-ti Perang Dunia 11, perang IndoPakistani tahun 1964 dan 1971, maupun perang China-India tahun 1962 -- pada umumnya berakhir dengan joint survival. Banyak faktor yang dapat mencegah, dan diperkirakan menentukan hasil akhir, suatu konflik; tetapi faktor yang paling menentukan, sekurang-kurangnya dalam penalaran pengka~lian strategi, adalah tebusan terbesar yang harus dibayar untuk skala keuntungan tertentu yang diharapkan. Prinsip inilah yang kemudian melahirkan konsep dan teori penangkalan.


Bacaan

Jones, Walter S. and Steven J. Rosen, The Logic of International Relations. Boston: Little Brown, 1982.

Vayrynen, Raymo (ed.). New Directions on Conflict Theory: Conflict Resolution and Conflict

Transformation. London: Sage Publications, 1991.

Wright, Quincy. A Study of War. Chicago: Chicago University Press, 1964.




Optimisme dan Pesimisme terhadap Perang dan Damai

PENGANTAR

Perang dingin telah usai. Kini banyak orang berdebat tentang tatanan dunia masa depan yang akan mengganti perang dingin. Apakah berakhirnya perang dingin tahun 1989, runtuhnya pakta Warsawa, runtuhnya Uni Soviet dan bergabungnya dua Jerman, mendorong tatanan dunia yang lebih aman? Ataukah runtuhnya Yugoslavia, peperangan yang belum usai di Afrika dan bergolaknya perang etnonasionalisme justru memperingatkan bahwa dunia sedang menuju tatanan yang lebih berbahaya? Apakah berkembangnya model pemerintahan demokrasi liberal akan menghasilkan perdamaian? Ataukah globalisasi ekonomi dunia akan menggeser pusat-pusat kekuatan dunia kepada kekuatan-kekuatan yang cinta damai?

Untuk menjawab apakah masa depan hubungan internasional akan lebih damai atau tidak maka perlu memahami faktor-faktor yang fundamental perang dan damai di masa lalu, mana yang penting bagi dunia saat ini dan mana yang tidak penting. Di samping itu perlu pula memahami faktor-faktor baru yang belum dipetakan secara jelas. Tanpa memahami konteks itu, ramalan tentang dunia akan lebih damai atau perang, sama sekali ramalan yang arogan dan menjadi sumber miskalkulasi bagi politisi.

Pandangan optimistik, palimg tidak diwakili oleh Francis Fukuyama dalam buku The End of History and The last Man. Secara ringkas argument Fukuyama adalah bahwa masyarakat dunia telah mengalami perubahan-perubahan yang signifikan dalam ideology, yaitu kemenangan ideology liberal atas ideology lain seperti fasisme dan komunisme. Hal ini berarti tidak ada rival lagi terhadap ideology liberal, dan ideology ini berkembang ke seluruh penjuru dunia. Ideology ini akan membangun dua pilar besar yang akan menjadi basis hubungan internasional; demokrasi dan sistem perekonomian pasar bebas. Konflik akan berubah menjadi persaingan yang selalu berada dalam dua norma tersebut. Ideology liberal akan menjadi superstruktur yang akan menetukan kepentingan nasional dan perilaku ekonomi. Sepanjang ideology ini diadopsi maka konflik-konflik besar antar negara akan bisa dihindari karena konflik dalam hubungan internasional akan digantikan oleh kalkulasi unutng rugi, penyelesaian soal-soal teknis, persoalan yang berhubungan dengan lingkungan, dan perdebatan-perdebatan low politics lainnya.

Pandangan optimis lain juga muncul dari John Mueller, dalam tulisan Retreat from Doomsday: The Obsolescence of Major War. Menurut Mueller, sejarah dunia mencatat perkembangan-perkembangan yang menakjubkan yang merubah kondisi budaya dan kondisi sosiologi masyarakat. Perang dianggap sangat mahal. Perang semakin tidak dibutuhkan lagi oleh umat manusia dan menjadi fakta yang mengancam kehidupan manusia.

Pandangan pesimis muncul paling tidak dari Samuel Huntington dan John Marsheimer. Huntington dalam tulisan yang berjudul the error of endism mengktisi pendapat Fukuyama. Menurut Huntington, penerimaan idelogi liberal secara universal selalu berarti tidak ada konflik dalam ideology liberal itu sendiri. Terlebih lagi menurut Huntington, kemenangan satu ideology tidak bisa menghalangi munculnya ideology-ideologi lain, karena masyarakat dan bangsa selalu berubah, maka tantangan dalam kehidupan akan mendorong lahirnya konsep, teori dan ideology baru untuk menghadapi tantangan tersebut. Pendapat bahwa berakhirnya perang akan mendorong perdamaian, menurut Huntington tidak berdasarkan fakta, karena faktanya saat ini rezim demokrasi di dunia masih sangat sedikit yang bisa benar-benar dikategorikan sebagai rezim bebas. Terlebih lagi, faktor perdamaian bukan persoalan natural dari demokrasi, tetapi lebih didorong oleh faktor luar. Tidak adanya perang diantara negara-negara demokratik selama ini lebih disebabkan oleh faktor kedekatan geografis dan keakraban negara. Misalnya sejak PD II, negara-negara demokratik tergabung dalam aliansi dengan AS.

John Marsheimer bahkan lebih pesimis lagi. Dalam tulisan yang berjudul Why We Will Soon Miss the Cold War, Marsheimer menyatakan bahwa perkembangan ekonomi budaya dan sosiologi tidak terlalu banyak berperan dalam perdamaian. Dalam sejarah hubungan internasional yang anarkhis, perang dingin justru menjadi satu masa di mana kondisi yang damai tanpa perang justru eksis. Tidak adanya perang dingin justru menimbulkan pertanyaan bagaimana memelihara perdamaian di Eropa khususnya, yang multipolar; bagimana mengatur perkembangan senjata nuklir di eropa, bagimana menyeimbangkan kekuatan-kekuatan Eropa yang multipolar, bagaimana menghadapi negara-negara yang hypernasionalist di Eropa timur dst. Persoalan justru lebih mudah ketika Uni Soviet ada, dan persaingan antara dua kekuatan meredakan kekuatan-kekuatan lain yang ekspansionis.

Di tengah perubahan global ini, bagaimana memahami kemungkinan-kemungkinan yang bisa muncul?. Cara yang lebih baik adalah dengan melakukan mereexaminanisi pandangan-pandangan tentang perang dan damai. Ada dua perspektif utama dalam HI yang membentuk persepsi politik dunia; realisme dan liberalisme.

REALISME

Landasan perspektif realisme telah jauh-jauh diletakkan oleh sejarahwan Yunani Thucydides (2500 th yang lalu), Marchiavelli, abad 16, Thomass Hobbes abad 17 dan Rosseau abad 18. tokoh-tokoh ini memiliki asumsi yang sama untuk menggambarkan kondisi dunia, yaitu sebagai “belantara” yang dicirkan oleh “state of war”. State of war (kondisi diambang perang) bukan kondisi yang menggambarkan perang yang terus-menerus terjadi, tetapi kemungkinan perang yang terus-menerus muncul diantara negara-negara.

Politik berada dalam kondisi state of war karena pada dasarnya kondisi manusia, karakter negara dan struktur internasional memungkinkan kondisi ini terus ada. Karena terus ada kemungkinan perang, maka setiap negara dianjurkan untuk mengikuti “realpolitik”. Maksudnya adalah selalu mengikuti kepentingan sendiri, siap-siap perang, dan berhitung-hitung terhadap kekuatan relative negara lain.

Realisme sering dikatakan sebagai bebas idealisme, karena perspektif ini mengajurkanbahwa idealisme setiap negara adalah kepentingan nasional, sebagai pemandu untuk memformulasikan kebijakan-kebijakan dalam sistem internasinal yang anarki. Kegagalan dalam menerima prinsip kepentingan nasional atau alasan negara lain akan mendorong bencana nasional, meningkatnya kekerasan global dan perilaku para negarawan yang menempatkan kepentingan dirinya di atas kepentingan public. Kepentingan nasional inilah yang kemudian menjadi etika dalam hubungan internasional.


LIBERALISME

Perspektif liberal landasannya diletakkan oleh John Locke, tentang kebebasan individu dalam pemerintahan dan Imanuel Kant. Dalam konteks politik internasional, perspektif liberal menentang pandangan bahwa politik dunia adalah “belantara”. Bagi liberal, politik dunia adalah “kebun yang subur”, yang merupakan gabungan antara “state of war” dengan “state of Peace”. Dalam pandangan liberal, negara adalah koalisi dari kepentingan yang mewakili individu atau kelompok. Kepentingan sebuah negara tidak ditentukan oleh satu tempat dalam suatu sistem internasional, tetapi oleh banyak kepentingan, idealisme dan aktivitas anggota yang tikangkap oleh pemerintah yang berwenang. Berbeda degan sistem otokrasi atau dikaktor yang merepresi kebebasan, menurut pandangan liberal, pandangan-pandangan domestic yang berbeda-beda mempunyai pengaruh signifikan terhadap situasi internasional. Nilai-nilai domestic dan institusi domestic-lah yang membentuk kebijakan luar negeri. Jadi kondisi state of war bagi kaum liberal berada jauh di luar wilayah mereka yang lebih menginginkan kondisi damai.

Bagi liberal, kebijakan luar negeri harus merefleksikan hak dan kewajiban individual. Apapun institusinya, kebijakn itu harus mendukung persamaan manusia, ini yang menjadi prinsip moral perspektif liberal. Namun perspektif ini mempunyai variasi pendapat, apakah mereka akan taat pada prinsip kedaulatan nasional atau mengijinkan kemungkinan intervensi dan redistribusi.



REALISME INTERNASIONAL

Tradisi pemikiran dominan dalam hubungan internasional adalah realisme. Argumen utama perspektif ini adalah, dalam upaya mencapai keselamatan (survive), negara terdorong untuk selalu mencari power, karena prinsip legal dan prinsip moral tidak bisa mengendalikan hubungan antar negara. Perang terjadi karena tidak ada sistem internasional yang mampu menyelesaikan perselisihan secara damai dan menegakkan peradilan. Negara tidak bisa bergantung kepada siapapun kecuali dirinya sendiri, dan karenanya negara berhak untuk menegakkan keselamatannya sendiri.

Realisme sering didefinisikan sebagai sekumpulan pandangan yang merupakan kritik terhadap pandangan idealis, moralis, legalis, kosmopolitanis bahkan rasionalis. Namun demikian realisme juga sering dibedakan antara realis tradisionali dan neo-realis, terkait dengan metode scientific-statistik dan interpretasi sejarah. Kritik noe-realis terhadap realis terutama karena realis terlalu menekankan pada unit analisa negara, perilaku negara utilitarian (setiap perilaku pasti ada kepentingan) dan positivis (politik adalah metode untuk mencari kepentingan ekonomi).

Pada dasarnya realisme memiliki kesamaan asumsi dasar. Realisme mewakili pandangan yang skeptic tentang tatanan internasional yang damai. Realis juga memandang bahwa kepentingan negara lebih superior dan bisa dibedakan dengan kepentingan individu.

Asumsi yang sangat mendasar adalah asumsi “sate of war”. Raelis hanya percaya bahwa tatanan internasional yang luas hanya akan muncul apabila didasarkan pada power atau force, karena kondisi politik internasional yang anarkhi. Situasi inilah yang selalu menempatkan negara pada kondisi di ambang perang, karena ada rasa tidak aman secara timbal balik, setiap negara asing adalah possible enemy, aliansi sifatnya sangat temporer, sehinhha kemungkinan perang akan selalu muncul. Setiap negara dengan derajat yang berbeda akan menghadapi situasi dilemma keamanan. Self help adalah satu-satunya cara untuk meraih keamanan politis, sementara self help itu pada sisi lain mengancam keamanan negara lain.

Michael Doyle dalam buku Ways of War and Peace; Realism, Liberalism and Socialism (1997) menunjukkan bahwa realisme ternyata bisa dibedakan menurut cara berpikir para filosofnya, menjadi empat perspektif: (1). Complex realism yang bersumber pada pemikiran Tucydides, (2). Fundamental Realism, yang bersumber pada pemikiran Marchiavelli, (3). Structuralist realism yang bersumber pada pemikiran Thomas Hobbes, dan (4).Constitusionalist realism yang bersumber pada pemikiran Rosseau.

Masing-masing perspektif memiliki faktor penyebab dan penjelasan normative yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu mengantar pada kesimpulan yang berbeda atas prospek perang dan damai, kerja sama dan konflik, karena ada penilaian yang berbeda terhadap cara-cara terbaik yang dilakukan negara untuk mengejar kepentingannya.

  1. complex realism

seperti halnya realisme yang lain, complex realisme memandang hubungan antar negara sebagai stae of war. Namun berbeda dengan realisme yang lain, complex memiliki cara pandang yang dibungkus interpretasi sejarah. Pandangan ini berdasar pada tiga asumsi minimal (1). Panggung internasional adalah anarki (banyak kekuatan tanpa sebuah pemerintahan) (2). aktor utama HI adalah negara merdeka dan berdaulat, namun hirarki domestic juga menjadi pendorong anarkisme internasional (3).tidak ada sumber-sumber internasional yang legitimate yang mampu mengontrol otoritas baik moral, sosial, cultural maupun legal, yang mampu mengeliminasi atau memamane konflik kepentingan, prestise mnaupun nilai. Ketiga asumsi itu mengantar pada kondisi state of war.

Saling tidak percaya adalah cirri utama politik antar negara, sehingga dengan maksud baik sekalipun, tidak satupun negara mau menyerahkan bagian dari keselamatan atau kebebasannya kepada negara lain. Rasionalitas negara sangat ditentukan oleh upaya mengejar kepentingan nasional (power) atau bagimana mereka menyusun tujuan akhir tersebut. Memang proses menentukan preferensi itu menghadapi banyak pilihan terbuka baik karena pertimbangan domestic maupun pertimbangan internasional. Kualitas penilaian politik menjadi sangat penting karena perilaku negara tidak dibatasi oleh sistem atau politik local maupun domestic. Pilihan politik melibatkan pilihan moral, namun secra etis sangat tergantung pada pertimbangan-pertimbangan strategis dan keamanan. Karena logika ketidakamanan global, maka setiap negara harus memelihara otonominya, menjamin keamanan sendiri dan memperhatikan kekuatan relative negara lain.

Kesimpulan utama dari complex realisme adalah, berlanjutnya kondisi state of war. Perang-perang mungkin mempunyai banyak sebab seperti salah kalkulasi, beda ideology, mengejar keuntungan dan bahkan ketakutan atau kekalahan. Karena konteks anarki yang permanent, maka ketakutan merupakan penyebab kuat terjadinya perang.

Hanya apabila asumsi-asumsi dasar berubah, maka berubah pula esensi hubungan politik antar negara. Pemerintahan dunia, merupakan bentuk sempurna dari consensus normative tentang harmony of interest. Sehingga kondisi state of war akan hilang. Kegagalan membentuk kerajaan universal atau masyarakat keamanan, menyebabkan kondisi state of war akan selalu muncul.

Kelebihan dari complex realism adalah tingkat akurasinya. Karena asumsi dan modelnya lebih kompleks maka bisa digunakan untuk menginterpretasikan proses politik internasional secara actual.

  1. Fundamentalisme

Perspektif ini beranggapan bahwa semua hubungan sosial selalu berakar pada kondisi psikologi manusia dan kebutuhan material yang didorong oleh power. Perilaku negara, sebagaimana halnya perilaku manusia, dapat dipahami sebagai refleksi interest oriented dan power seeking activity. Seperti apa yang dikatakan oleh Moregenthau bahwa politik internasional sebagaimana politik domestic, adalah perjuangan untuk meraih kekuasaan. Dorongan untuk meraih kekuasaan inilah yang mendorong state of war.

Fundamentalisme juga menerima asumsi anarkhi internasional sebagaimana complex realisme, tetapi anarki ini berbeda antara level domestic dengan level internasional. Karena berakar dari hakikat manusia, maka pera negarawan tidak punya pilihan lain kecuali power politics. Setiap negara tanpa keculai akan berjuang untuk meraih kekuasaan, bukan kesimbangan kekuatan, namun untuk superioritas kekuatan. Logika yang sama juga terjadi pada level individual.

Kelebihan dari fundamentalisme ini adalah karena fokusnya pada kepemimpinan individual. Ini sangat membantu untuk melacak mekanisme perubahan dunia yang sering dihadapi oleh para negarawan ketika harus menetukan pilihan kebijakan.

  1. Strukturalime

Strukturalisme juga ingin menerangkan state of war. Strukturalisme juga menyetujui asumsi anarkisme internasional dan dominasi actor negara dalam HI. Namun menurut strukturalisme, actor negara ini memiliki unit fungsional yang sama, namun berbeda dalam kapabilitas (kemampuan) bukan beda tujuan.

Strukturalisme juga mengakui proses rasional, dan preferensi terhadap kekuasaan sebagai cara untuk menjamin security. Tapi strukturalisme beda dengan fundamentalisme dalam memandang asumsi ahkikat manusia tau organisasi sosial. Menurut strukturalisme, hakikat manusia dan organisasi sosial ditentukan oleh struktur itu sendiri. Pada dasarnya perilaku negara itu sama, rasional dan power seeking melalui kompetisi dan sosialisasi. Hanya saja rasionalitas dan power seeking akan mendorong kompetisi untuk mendominasi dan ini menjadi pelajaran bagi rival mereka.

Kesimpulan utama strukturalisme adalah hipotesis tentang stabilitas kekuatan bipolar, instabilitas multipolar dan kelemahan-kelemahan kendali transnasional. Penadapat itu berdasar pada asumsi bahwa setiap negara memiliki kapabiolitas yang berbeda dalam persaingan di dalam sistem internasional. Menurut strukturalisme, sistem internasional membutuhkan regularitas.

  1. Konstitusionalismer

Konstitusionalisme memnganalisa efek perbedaan institusi kultur, sosial, ekonomi dan politik. Perspektif ini melihat danya variasi perilaku negara sangat dipengaruhi oleh kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya suatu negara. Perspektif ini tetap berpendapat bahwa ada anarkisme dalam HI dan dominasi aktir negara. Akan tetapi pendekatan ini menekankan batasan-batasan sosiologis yang lebih luas dan konsekuensi domestic terhadap politik internasional.


Varian Realisme dalam isu perang dan damai


Fundamentalisme

Marchiavellian

Strukturalis

Hobbesian

Konstitusionalis

Rousseaunian

State of war

Domestic/ internasional

Internasional/ homogen

Internasional/ heterogen

aktor

individual

Negara

Negara

Sumber state of war

ambisi

Anarki

Kepentingan

Strategi perdamaian

imperialisme

Balance of power

Isolasionis/ pertahanan/ revolusi


KONSEP BALANCE OF POWER

Konsep balance of power adalah strategi utama realis dalam politik internasional. Rousseau mungkin mengharapkan ada semacam strategi isolasionis sementara waktu, Marchiavelli mungkin menghendaki kemenangan imperialisme, untuk mencapai perdamaian. Namun demikian, semua varian realisme mengakui bahwa balance of power adalah hasil dari paling bijak yang seharusnya dicapai oleh negara-negara apabila mereka tidak bisa meraih hasil lain yang lebih baik.

Balance of power bukanlah sebuah konsep yang self-evident. Konsep ini memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Meskipun memiliki makna yang bervariasi, salah atu definisi yang acap kali digunakan adalah suatu kondisi dimana interaksi antar negara menjamin keselamatasn sistem dengan membentuk kerajaan atau hegemoni atau koalisi antar negara.

Emmerich de Vattel dan Frederich von Gentz, memberi definisi singkat tentang balance of power, .. penataan bermacam-macam urusan sehingga tidak ada satu negarapun mempunyai posisi absolute dan mendominasi pihak lain. Dalam balance of power ada semacam konstitusi yang menghubungkan beberapa negara, sehingga tidak ada negara yang melanggar kemerdekaan dan hak-hak dasar mereka.

David Hume memiliki definisi yang lain, bahwa balance of power adalah suatu metode untuk menjaga diri. Balance of power berarti, sekumpulan negara lemah yang berjaga-jaga terhadap satu kekuatan besar diantara mereka, yang bisa membahayakan kemerdekaan, dan kebebasan.

Ada beberapa model balance of power dilihat dari yang kurang tertata menuju yang tertata:

  1. counter-hegemonic coalitions; upaya beberapa negara untuk mencegah penaklukan dari negara hegemon. Misalnya upaya dari ratu Elizabeth I di Inggris ketika bergabung dengan Prancis untuk menandingi kekuatan diansti Hapsburg (austro-hongaria), juga upaya Winston Churcill mendukung Rusia melawan Jerma pada perang Dunia II.

  2. Geopolitical Counterpoise; karena setiap negara adalah kawan dan musuh potensial maka harus ada blok-blok sistematis beberapa negara terhadap negara-negara merdeka lainnya. Konsep ini dibangun oleh kautilya dalam Arthasastra. Bangunan yang dibayangkan oleh Kautilya adalah lingkaran permusuhan (tetangga terdekat) dan lingkaran pertemanan (musuh tetangga), sehingga ada keseimbangan antara ancaman dengan kekuatan.

  3. equipoise, pembentukan dua atau lebih koalisi yang berimbang. Equipoise adalah dampak dari upaya setiap negara dalam membangun aliansi sementara kekuatan tiap negara tidak sama. Tetapi karena setiap negara menjalani permainan ini maka koalisi lama-lama menjadi berimbang.

  4. equality, keseimbangan antar negara tidak hanya secara eksternal tetapi juga internal. Equality bisa termanifestasi antara lain dari tendensi untuk menyamakan kapabilitas militer; anggaran militer dst.

  5. great power stability, indikasinya adalah keselamatan negara-negara utama yang tidak tereliminasi dalam perang BoP.

  6. sistem stability, keselamatan setaip negara, baik negara besar maupun negara kecil.

  7. peace. Kemenangan BoP adalah kondisi damai yang berjangkauan luas.



Kondisi balance of power harus dibedakan dari beberapa kondisi yang mungkin mirip dengan BoP:

  1. balance against threat tidak berarti balance against power. Balance of power memiliki makna dan indicator yang lebvih luas ketimbang balance against threat, karena BoP mencakup keseimbangan kapasitas power, apapun kondisinya (ada ancaman maupun tidak).

  2. balance of power juga harus dibedakan dengan sistem keamanan bersama (collective security system), karena collective security hanya berkomitmen untuk melindungi negaranya dari aggressor, siapapun aggressor itu. Keputusan dalam collective scurity sangat individualistic. BoP bahkan mengizinkan perang agresif untuk mencapai kondisi seimbang.

  3. BoP juga bisa dibedakan dari sistem concert. Sistem concert mensyaratkan koordinasi dan keputusan kolektif sebagai efek dari suatu aliansi yang lebih besar, sedangkan BoP lebih bersifat multiple alliansi dan aliansi yang selalu berubah-ubah.


Liberalisme Internasional


Prinsip-prinsip liberalisme dikenal dengan beberapa cirri seperti kebebasan individual, partisipasi politik, hak milik pribadi dan kesetaraan kesempatan. Secara politis prinsip liberal menunjuk pada kebebasan individual, kepercayaan pada pentingnya kebbebasan moral dan hak untuk mendapat perlakuan sebagai subyek bukan hanya obyek. Prinsip-prinsip inilah yang melahirkan konsep hak dan institusi.

Liberalisme kemudian ditandai dengan komitmen terhadap empat institusi penting: pertama, warga negara memiliki hak-hak fundamental yang sama, seperti hak bebas beragama, sama didepan hokum dll. Kedua, kedaulatan negara yang efektif dijalankan oleh anggota legislative yang dipilih. Dalam konteks hubungan luar negeri, negara itu berdaulat dari otoritas asing maupun otoritas internal seperti monarki maupun birokrat militer yang mungkin memiliki hak-hak prerogative pada kebijakan luar negeri. Ketiga, prinsip ekonomi berdasar pada prinsip hak milik pribadi. Keempat, keputusan ekonomi dibentuk oleh kekuatan pasar secara domestic maupun internasional, bebas dari campur tangan ketat para birokrat.

Keempat prinsip dan institusi tersebut membentuk dua pilar tata kelola liberal yaitu laissez faire dan market. Dalam rangka menjaga kesempatan warga negara untuk tetap bebas laissez-faire liberalisme membongkar peranan negara dan memberi kesempatan yang besar pada sector privat dan pasar. Dalam rangka mempromosikan kesempatan kebebasan, welfare liberalisme memperluas peranan negara dan membatasi pasar. Namun demikian prinsip-prinsip tersebut masih bisa dibedakan dengan bentuk-bentuk rezim yang lain seperti otoritarian dan kediktaktoran monarki maupun militer.


Asumsi dan argumen

Pada dasarnya teori liberal internasional adalah teori yang diambil dari teori domestic. Berbeda dengan realisme yang sejak awal merupakan teori internasional, karena prinsip utamanya state of war.

Inti dari pandangan realisme secara singkat: kondisi state of war diantara negara-negara dan masyarakat, sementara perang dipandang sebagai kemungkinan lanjutan (politics with other means), selalau ada prospek terancam, sehingga setiap negara harus memperhatikjan negara lain karena kemungkinan ancaman itu. Hal ini karena realis berasumsi bahwa:

  1. hubungan antar negara adalah anarkis, sehingga tidak ada pemerintahan global, perdagangan, budaya, institusi bahkan hokum internasional yang bisa eksis di bawah kondisi anarki ini

  2. setiap negara adalah unit independent yang merupakan actor strategis. Meski ada beberapa variasi struktur seperti, aktior rasional uniter (Hobbes), unit sosiologis yang berbeda (Rousseau), pangeran yang rasional (Marchiavelli), tetapi setiap variasi pendapat memiliki kesamaan bahwa negara adalah actor yang bertarung untuk memperoleh kekeuatan (power) yang efektif dan legitimate. Tidak ada satu kelompok ataupun pangeran, yang memiliki klaim yang legitimate terhadap otoritas. Kalau ada satu kelompok yang bisa menegakkan counter kalim sehingga menyebabkan negara runtuh atau jatuh ketangan kekuatana sing, maka anarki berakhir dan berganti dengan hirarki.

  3. beberapa dari negara-negara tersebut berupaya untuk memeperluas, sementara yang lain berjuang untuk selamat. Tidak stau negara pun yang bersiap untuk bergabung dalam kerjasama ataupun akomodasi dalam jangka panjang.


Persepsi bahwa ada negara yang ingin melakukan perluasan, dan karena setiap negara berdaulat maka mereka akan sama egoisnya, sementara tidak ada kedaulatan global, maka setiap negara secara rasional akan merasa takut satu sama lain. Suatu negara merasa takut apabila mereka tidak mampu meningkatkan daya agresinya terhadap negara lain, kerena negara itu juga tidak bisa yakin bahwa tetangganya tidak akan mengagresi mereka. Setiap negara berada dalam kondisi state of war atau yang dikenal sebagai dilemma keamanan (security dilemma). Dampaknya adalah, nilai-nilai kebaikan internasional adalah nilai yang relative, karena setiap apa yang dianggap baik harus diukur dari seberapa jauh hal itu berkontribusi terhadap keamanan. Sementara didunia ini setiap negara harus mampu menegakkan keamanannya sendiri (selp-help system). Dalam sebuah aliansi, nilai-nilai absolute mungkin dihargai tapi itu terjadi karena nilai-nilai itu berkontribusi terhadap superioritas relatif aliansi terhadap aliansi lain. Dari sini maka aliansi mudah runtuh.

Pandangan liberal sangat berbeda. Politik internasional tidak dipandang sebagai state of war yang homogen, tetapi sebagai kondisi minimum antara kondisi damai dan perang yang heterogen yang mungkin akan berubah menjadi kondisi state of global peace in which expectation of war disappeared. Apabila ada dua atau lebih negara liberal hadir dalam sistem internasional, maka akan muncul pilihan-pilihan kebijakan lain (tidak hanya rasionalitas keamanan seperti yg dibayangkan oleh realisme ketika setiap negara diasumsikan dalam kondisi state of war). Masyarakat liberal akan bersaing untuk meraih kekayaan, kejayaan dan kemajuan budaya, tanpa pernah membayangkan bahwa kompetisi itu harus diselesaikan melalui perang. Institusi formal maupun informal seperti organisasi internasional dan hukum internasional mempunyai peranan yang besar dalam kompetisi dibandingkan para serdadu dan diplomat seperti yang dibayangkan oleh realis. Hal ini karena liberal memiliki asumsi-asumsi:

  1. meski setiap negara hidup dalam situasi anarki internasional (yg diartikan sebagai tidak adanya pemerintahan dunia), tidak berarti setiap negara menghadapi situasi state of war.

  2. setiap negara secara inheren adalah unit yang berbeda-beda tergantung bagaimana negara itu berhubungan dengan hak asasi setiap individu. Negara liberal berbeda dengan negara non-liberal, republic berbeda dengan otokrasi maupun otoriter, kapitalis beda dengan sosialis komunis. Perbedaan-perbedaan ini mendorong perilaku yang berbeda dalam hubungan internasional.

  3. tujuan negara, sama dengan tujuan individu, yaitu mencapai keamanan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak individual.


Dengan demikian menurut teori liberal internasional, setiap negara berperilaku berbeda-beda dan tidak dihomogenisasi oleh sistem internasional. Liberal internasional mengakui kondisi anarki, namun liberal memanknai anarki secara berbeda. Anarki menurut realis adalah situasi zero-sum game, tetapi menurut liberal situasi anarki itu adalah posistive-sum game, setiap negara dapat menang atau kalah bersama-sama.

Menurut liberal kondisi insecurity bisa diselesaikan melalui akomodasi yang stabil. Setiap negara dalam situasi yang kompetitif akan lebih suka bekerja sama berdasarkan kepercayaa. Agar tercapai koordinasi, maka harus ada aliran informasi. Dengan prinsip-prionsip saling menghargai, maka negara-negara liberal menghilangkan ancaman dan sebagai gantinya, mereka membangun kesempatan bagi keuntungan dagang timbal balik dan bahkan aliansi (bila perlu) dengan negara-negara non-liberal. Menurut liberal, kondisi anarki saja tidak cukup sebagai alasan untuk berperang. Penyebab perang terutama adalah orang yang jahat, terbelakang atau ditipu, sehingga memulai perang. Penyebab-penyebab itu bisa dihilangkan dengan penyebaran nilai-nilai liberal dan institusi liberal.

Teori liberal internasional didasarkan pada karya fenomenal Imanuel Kant yang berjudul Perpetual Peace. Kant menyatakan bahwa tendensi untuk maju adalah kondisi yang alamiah pada setiap manusia, dan karenanya, setiap masyarakat dan republic berupaya memperbaiki kondisinya. Dengan demikian setiap masyarakat akan menciptakan perdamian yang kekal.

Penulis-penulis lain seperti Robert O Keohane dan Joseph Nye menunjukkan bahwa dunia modern dicirikan oleh situasi saling ketergantungan yang kompleks (complex interdependence). Dalam kondisi yang demikian maka penggunaan perangkat kekerasan dalam hubungan antar negara akan berkurang, bahkan sebelum masa perang dingin berakhir.

Penulis-penulis liberal lain juga berpendapat bahwa perang sekarang ini sudah menjadi metode usang dalam politik internasional, bahkan sekarang muncul kecederungan regionalisme dan munculnya lembaga supra nasional.


VARIASI PEMIKIRAN LIBERAL TENTANG PERANG DAN DAMAI

Seperti halnya realis, liberal juga menunjukkan perbedaan-perbedaan. Paling tidak ada tiga focus yang berbeda yang mendapat perhatian dari pemikir liberal:

  1. institusionalis, fokusnya pada level individual. Pemikiran ini berdasar pada pemikiran John Locke dan Jeremy Bentham.

  2. komersialis, fokusnya pada masyarakat domestic. Ini berdasar pada pemikiran Adam Smith dan Joseph Schumpeter.

  3. internasionalis, fokusnya pada sistem antar bangsa. Berdasarkan pemikiran imanuel kant.


Berbeda dengan realis yang mengasumsikan hubungan antar bangsa sebagai state of war, liberal berasumsi kondisi state of war baru diketahui apabila ada aksi-aksi agresif maupun peryantaan keinginan untuk mengagresi. Sehingga menurut liberal selalu ada kemungkinan untuk meraih perdamaian (state of peace).

Menurut Locke dan bentham, kondisi state of peace kebanyakan telah dikorupsi oleh berbagai perilaku curiga, penilaian sepihak, misinformasi dan ketidakpastian, sehingga state of war dan state of peace berjalin berkelindan (melebur). Persepsi dan kepentingan warga negara secara individual maupun para negarawan sering kali menyebabkan korupsi terhadap perdamaian. Namun apabila individu-individu tersebut mempunyai dedikasi tinggi terhadap rule of law (daulat hukum), membela tujuan negara (life-liberty dan property / estate) maka langkah-langkah menuju keadilan internasional bisa diraih. Namun menurut Locke dan Bentham, sering kali usaha itu gagal dan kebanyakan negara hanya mampu menjaga keamanannya sendiri.

Menurut Adam Smith dan Schumpeter, kondisi-kondisi state of war bisa diantisipasi dengan mengembangkan masyarakat komersial dan demokrasi kapitalis. Melalui masyarakat komersial maka rasionalisasi akan menggabungkan kepentingan individu dan kepentingan sosial di dalam konsep pasar. State of war menurut liberal komersial, pada dasarnya bersumber dari imperialisme otokratik dan eksport monopolisme, yang merupakan dampak sesaat dari revolusi industri dan kapitalisme pasar. Dalam jangka panjang, komersialisme dan kapitalisme akan menjamin kekuatankekuatan perang autokrasi tradisional itu menjadi padam.

Menurut liberal internasionalisme, state of war adalah daya paksa structural yang setiap saat bisa meldak. State of war itu bisa diredam dengan proses konstitusional evolusi politik dunia yang memungkinkan pemerintahan-pemerintahan republic membangun state of peace ke dalam pacific union (uni yang tenang/ teduh). Dengan membangun hokum internasional yang masuk akal, collective security dan kerahmatmahan transnasional, maka republic-republik menciptakan politik perdamaian yang akan terus diperluas sehingga ada prospek untuk mencapai perpetual/ universal peace.



Variasi pemikiran liberalisme


institusionalis

komersialis

internasionalis

State of war

Persamaan internasional

Perbedaan internasional

Perbedaan internasional

State of peace

Individu individu yang terganggu “kenyamanannya”

Diantara negara kapitalis

Pacific union diantara republic

aktor

individual

Pasar/ masyarakat

Republic/ non republic

Sumber state of war

Kecurigaan dan misinformasi

Imp[eralialisme dan monopolisme

Berbagai otokrasi / upaya pemberatasan liberalisme

Strategi perdamaian

Hukum internasional

Perdagangan bebas, pengembangan kapitalisme

Perluasan republik


Liberalisme terutama liberalisme Kantian, sangat optimis terhadap klaim bahwa politik dunia bisa mencapai state of peace. Liberal juga mengklaim konsep-konsep dasar yang akan membentuk tatanan dunia liberal yaitu; kebebasan (liberty) dan demokrasi. pertanyaannya apakah prinsip-prinsip dan institusi liberal merupakan sumber-sumber utama bagi tercapainya perdamaian diantara negara-negara liberal?

Pada level strategis, apa yang disebut sebagai perdamaian liberal, menurut realis hanyalah sebagai akibat dari praktek prudent diplomacy. Dalam rangka mencegah war of all against all ketika setiap negara mengejar sumber-sumber ekonomi dan prestise yang langka, realis mengakui keberadaan prudent diplomacy. namun menurut ralis, dalam kondisi state of war, prudensial bisa ditingkatkan dengan meningkatkan paritas teknologi militer terhadap negara lain

Kamis, 07 Agustus 2008

IDINAMIKA PERSENJATAAN: PERLOMBAAN DAN MODERNSASI

Pengantar
Perlombaan senjata merupakan salah satu sub-bidang kajian yang rumit dalam pengkajian strategis. Sulit membedakan antara apakah peningkatan kemampuan persenjataan suatu negara merupakan bagian dari "perlombaan senjata" dengan negara lain atau sekedar usaha untuk "mempertahankan diri" atau bahkan hanya untuk memelihara "status quo" hubungan keamanan dalam suatu kawasan tertentu. Ini merupakan salah satu sebab mengapa selama ini tidak terdapat kajian yang cukup komprehensif mengenai perlombaan senjata. Menarik untuk disimak mengapa bidang kajian ini sering dianggap tidak memperoleh tempat khusus dan sepadan dalam kajian hubungan internasional (Bellamy, 1975: 129), dan bahkan tidak tercantum dalam indeks sebuah buku yang secara jelas mempelajari "strategi" (misalnya Baylis et al, 1975). Tampaknya hal itu bermula dari kerancuan konseptual, maupun kesulitan untuk memahaminya dari konteks logika, proses maupun implikasinya bagi interaksi strategis dalam hubungan antar negara.

Kerangka Konseptual
Perkembangan teknologi dan penemuan senjata-senjata baru telah memainkan peranan penting dalam Hubungan Internasional terutama karena ia menentukan arah perlombaan senjata (arms race) dan dengan demikian mempertanyakan sampai seberapa jauh peningkatan kemampuan pertahanan suatu negara benar benar mampu meningkatkan ketahanan nasionalnya.
Perlombaan senjata didefinisikan sebagai "penyesuaian kemampuan mesin perang secara berulang, kompetitif dan timbal balik (reciprocal) antara dua negara atau dua kelompok negara" (Steiner, 1973: 5). Huntington melihat dari segi kapan peristiwa dinamika itu terjadi dengan mendefinisikannya sebagai "peningkatan kemampuan persenjataan suatu negara atau kelompok negara secara progresif yang terjadi pada masa damai yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan saling ketakutan" (Huntington, 1958: 41). Hedley Bull mendefinisikan perlombaan senjata sebagai "kompetisi yang intens antara negara atau kelompok negara yang saling bertentangan di mana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai keunggulan kekuatan militernya dengan cara meningkatkan kuantitas atau memperbaiki kualitas sistem persenjataannya" (Bull, 1961: 5).
Masih banyak definisi yang dapat dirangkum. Definisi-definisi yang dikutip di atas mencerminkan beberapa unsur pokok, yaitu
(a) pihak yang berlawanan;
(b) usaha untuk mencari keunggulan militer;
(c) terjadi pada rnasa damai/tidak perang;
(d) proses terjadi secara kompetitif, timbal balik, dan eskalatif.
Ia bisa menitikberatkan pada aspek kualitatif dan kuantitatif dari perkembangan teknologi militer, pada konsekuensinya terhadap hubungan antar negara dalam masa damai, dan pada pengaruhnya terhadap stabilitas interaksi penangkalan.

Dalam implikasinya bagi hubungan antar negara, perlombaan senjata mencerminkan apa yang oleh Barry Buzan disebut sebagai "self-stimulating persaingan militer antar negara di mana usaha peningkatkan kemampuan pertahanan salah satu pihak menimbulkan ancaman baru bagi pihak lain" (Buzan, 1989: 69). Sementara implikasinya dalam interaksi strategis terlihat dari konsep yang kemudian dikenal sebagai "stabilitas perlombaan senjata". Selama bertahun-tahlun "stabilitas strategis" telah menempati bagian penting bagi para pengambil keputusan. Konsep ini terdiri dari dua komponen, yaitu stabilitas krisis dan stabilitas perlombaan senjata. Berbeda dari stabilitas krisis (crisis stability), yang terutama mempelajari keuntungan dan biaya serangan pertama pada saat krisis, "stabilitas perlombaan senjata" (arms-race stability) terutama mempelajari keuntungan dan biaya penggelaran senjata-senjata baru pada masa damai.

Bagaimanapun kita melihatnya, perlombaan senjata merupakan masalah penting dalam studi hubungan internasional, dan terutama dalam pengkajian strategi, karena ia menjelaskan apa, mengapa dan bagaimana usaha salah satu negara untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya melalui peningkatan kemampuan militer akan dapat mempengaruhi hubungannya dengan negara lain (Prins, 1984). Dua pendekatan pokok dalam studi ini adalah pendekatan yang menggunakan model model matematik (Richardson, 1960; Busch, 1970), dan pendekatan yang lebih mengutamakan masalah mekanisme dan tujuan perlombaan senjata (Busch, 1984: Russet, 1983). Keduanya mempunyai keandalan dan kelemahan tertentu seperti akan diuraikan di bawah ini.

Perlombaan Senjata dalam Perspektif Pengkajian Strategi: Mencari Model Afternatif

Perlombaan senjata selalu melibatkan beberapa unsur: pertama, kompetisi untuk memperoleh kekuatan militer; dan, kedua, kemenangan adalah tujuan dalam perlombaan itu. Tetapi pada umumnya literatur yang ada tidak mencerminkan semua unsur itu secara seimbang. Buzan selain mencatat bahwa peningkatan kemampuan sistem persenjataan suatu negara tidak selamanya berlangsung dalam suatu proses kompetisi yang ketat juga menekankan betapa semua itu tidak dimaksud untuk mencapai kemenangan yang menentukan (Buzan, 1983: 194-6).

Oleh sebab itu, istilah yang mungkin lebih tepat adalah "dinamika persenjataan" (arms dynamic). Konsep ini menjelaskan segala sebab yang menjadikan suatu negara meningkatkan kemampuan persenjataan melalui penyesuaian kuantitas maupun kualitas sistem yang telah dimilikinya. Idiom-idiom mengenai perlombaan senjata (Anggoro, forthcoming) dapat berlangsung dalam suasana sebagai berikut: pertama, dinamika simetris di mana kekuatan antara pihak-pihak yang berlomba dapat dibandingkan secara langsung karena memang sistem persenjataan itu (akan) digunakan untuk saling berperang. Penggelaran kapal-kapal perang oleh Britania Raya dan Jerman sebelum Perang Dunia Pertama, peningkatan rudal-rudal balistik antar benua (ICBM) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada dasawarsa 1970an adalah sebagian dari beberapa contoh yang dapat disebut dan dianalisa memakai model ini. Konsekuensi pokok dari penggelaran senjata simetrikal ini adalah kecenderungannya untuk memperbesar target ratio dan kemampuan serangan pertama.

Kedua, dinamika asimetris, di mana perkembangan kuantitatif dan kualitatif sistem persenjataan yang tidak serupa, sebagaimana terlihat dari dinamika antara penggelaran kapal-kapal anti kapal selam (ASW), rudal-rudal canggih SS-25 milik Uni Soviet dan rencana penggelaran Perang Bintang di Amerika Serikat, Gejala ini pada umumnya dimaksud untuk meningkatkan kemampuan pertahanan, sisi pertahanan dari struktur penangkalan. Dalam perang konvensional ia dimaksud untuk menyerap kemampuan serangan lawan, sedang dalam perang nuklir ia dimaksud untuk meningkatkan kadar dan 'tingkat ketidakpastian yang akan diperoleh lawan dengan melakukan serangan pertama. Dan yang ketiga, adalah kombinasi antara dinamika simetris dan asimetris.

Interaksi Dinamik dari Dinamika Persenjataan
Dinamika persenjataan dapat berlangsung secara mengikuti beberapa pola, antara lain, (a) classical action-reaction model; (b) domestic structure model; (c) technological imperative; maupun karena (d) gabungan antara ketiganya. Model Aksi-Reaksi beranggapan bahwa negara-negara memperkuat sistem persenjataan mereka karena apa yang mereka anggap sebagai ancaman dari luar. Dengan demikian model ini mengandalkan penalarannya pada anarki internasional dan ancaman luar. Asumsi pokok dalam model ini adalah rasionalitas para aktor (karena arus informasi sempurna, dua pihak) dan bahwa aksi-reaksi merupakan dorongan yang deterministik pada dinamika persenjataan.

Model Aksi-reaksi. Model-model matematik bermanfaat untuk menjelaskan hal-hal tertentu. Richardson mampu menjelaskan dengan baik dan sistematik mengenai hubungan antar faktor yang mendorong dinamika persenjataan. Ia membedakan antara perlombaan senjata yang akan mengendur dengan sendirinya maupun yang akan memperkuat kecenderungan itu. Model ini tidak mernbedakan antara "perlombaan senjata" dan "peningkatan kennampuan senjata" (arrrs build-up)' yang mungkin didorong oleh faktor non-interaktif, Ia juga tidak menjelaskan perkembangan dati pergeseran doktrin pertahanan maupun implikasinya pada' "~x-trju~oarjana-IMIVI Hubungan Internasional

strategi yang dianut oleh suatu negara pada suatu kurun waktu tertentu. Meskipun demikian, model aksi-reaksi, dengan pengidentifikasian variable yang tepat untuk suatu masa tertentu, mungkin bisa menjadi alat analisa yang cukup memadai dalam menjelaskan tingkatan analisa sistem dalam hubungan stratE)giS.

Domestic Structure Model. Model lomestik beranggapan bahwa dinamika persenjataan lebih didorong oleh factor-faktor internal. Mernang nnodel ini tidak pernah mengatakan bahwa persaingan antar negara menjadi tidak relevan. Mereka hanya menggarisbawahi bahwa tat3nan domestik (ekonomi, politik) telah melembaga sedemikian kuat sehingga menggeser tekanan-tekanan luar yang semula menentukan arah dinamika persenjataan. Faktor luar masih tetap penting dalam memberi motivasi. Yang menjadi soal bagi pendekat2n ini adalah bahwa anggaran militer, procurements dan teknologi yang dipakai dalam dinamika itu adalah ditetapkan di dalam negeri. Dengan kata lain, apakah dinamika persenjataan akan mengikuti pola simetris dan/atau asimetris adalah persoalan yang semata-mata bersifat dornestik, misalnya strategi penangkalan, doktrin peilahanan.

Persoalan yang diangkat oleh mode! ini untuk melacalk struktur dan mekanisme domestik seperti apa yang mempengaruhi dinamika persenjataan. Studi kasus tentang Amerika Serikat, misainya, mempelajari pelembagaan riset kemiliteran, politik-birokrasi, manajemen ekonomi, dan politik domestik. Ancaman luar selalu merupakan bagian penting dari model ini, tetapi ia ditaf:3irkan dalam konteks domestik. Dengan perkataan lair, berbeda dari model aksi-reaksi yang bermanfaat pada tingkatan analisa sistem (interaksi antar negara), model domestik ini dapat menjawab pertanyaan-pertanayaan penting mengenai tingkah lakLI suatu negara; dan analisa politik luar negeri dapat menjadi pendekatan yang bermanfaat untuk menganalisis model ini.

Keharusan Teknologikal. Ada beberapa unsur yang belum terliput dalam dua model tersebut di atas. Kaitan antara teknologi militer dan sipil, misalnya, seringkali memainkan peranan penting dalam dinamika persenjataan. Pertama, karena tuntutan untuk perkembangan dan kemajuan teknologi tidak selamanya terletak pada teknologi militer, dan, kedua, karena sektor militer tidak dapat memisahkan dirinya dari kecenderungan perkembangan teknologi-teknologi tertentu yang memang berada di luar kendali mereka. Model/pendekatan ini terutama berlaku di negara-negara kapitalis maju yang memiliki komitmen besar pada inovasi teknologi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi. Relevansinya bagi negara-negara berkembang terletak pada keharusan negara-negara itu untuk mengejar ketertinggalan teknologi (sipil maupun militer); ia dimaksudkan untuk "memelihara status quo militer" daripada "untuk mengantisipasi ancarnan luar". Dinamika persenjataan setelah berakhirnya Perang Dingin di beberapa kawasan (misalnya Asia Tenggara) mungkin lebih tepat dijelaskan dengan pendekatan ini daripada dengan dua pendekatan yang disebut terdahulu.

Relevansi masing-masing pendekatan berbeda dalam konteks analisa historis, studi kasus, dan/atau studi komparasi. Ini terutama disebabkan karena setiap faktor tidaklah memainkan peranan yang sama pentingnya dalarri kurun waktu yang berlainan. Ancaman Vietnam, misalnya, merupakan faktor pokok penggelaran senjata-s(-njata baru Thailand dalam dasawarsa 1970an dan 1980an; tetapi kemampuan ekonomi dan industri lokal mungkin merupakan faktor yang lebih penting di masa-masa mendatang. Dinamika hubungan persenjataan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada dasawarsa 1970an, yang ditandai oleh merosotnya kuantitas persenjataan, tetapi diwarnai oleh meningkatnva kecanggihan teknologinya, di kedua belah pihak mungkin memperlihatkan bahwa inovasi teknologi militer merupakan suatu fenomen global yang penting diperhitungkan.

Masalah-masalah dalam Pengkajian Dinamika Persenjataan
Logika Dinamika Persenjataan. Meskipun kombinasi dari pendekatan-pendekatan di atas mampu menjelaskan gejala dinamika persenjataan dengan perspektif yang lebih utuh, ia tidak dengan sendirinya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang menentukan magnitude dan arah dari dinamika persenjataan, terutama di negara-negara berkembang yang memang seringkali lebih tepat disebut sebagai military (arms) build-up daripada perlombaan senjata.

Arms build-up itu sendiri didefinisikan sebagai peningkatan secara spiral kemampuan militer suatu negara yang terlihat antara lain dari peningkatan belanja militer, peningkatan personel militer, dan modernisasi sistem persenjataan. Hal itu seringkali berkaitan dengan faktor-faktor lain dari persaingan antar-negara. Dalam konteks Asia Tenggara, misalnya, akuisisi senjata dapat terjadi karena beberapa elemen dalam perlombaan senjata. Faktor lain yang sering disebut sebagai memainkan peranan penting dalam akuisisi ini adalah kemampuan industri persenjataan lokal, pergeseran strategi dan doktrin pertahanan, peningkatan kemampuan ekonomi, dan kemudahan untuk memperoleh sistem persenjataan dari pasar internasional. Relevansi Analitikal. Analisa historis berusaha mengungkap dinamika persenjataan dari segi motivasi, lingkungan internasional, sebab serta pola penggelaran senjata baru. Analisa perbandingan memperhatikan pada latar belakang internasional (dan/atau regional), pola penggelaran, faktor-faktor domestik yang mendorong penggelaran senjata-senjata baru. Studi kasus bisa melihat ketiga faktor (atau lebih) yang dianggap memainkan peranan penting dalam din3mika persenjataan. Indikator Indikator adalah soal yang sangat penting terutama dalam studi-studi kuantitatif dan dalam studi perbandingan. Indikator yang dapat dipergunakan untuk menganalisa dinamika persenjataan adalah anggaran pertahanan (dalam harga konstant atau tingkat harga berjaian, sebagai proporsi dari GDP, dan pada basis perkapita), jenis persenjataan baru yang digelarkan (konvensional, nuklir). Persoalannya adalah tingkat relatif GNP (GDP) untuk suatu negara berbeda dari negara lain, misalnya karena anggaran pertahanan suatu negara pada umumnya mengkover sektor pembiayaan yang berbeda dari satu negara dengan negara lain.

Penutup: Konsekuensinya Pada Dinamika Persenjataan
Akibat dari relevansi masing-masing pendekatan yang disebut diatas mungkin terlihat jelas pada tema perkuliahan mendatang, pengendalian (pengaturan) persenjataan (arms control). Pendekatan aksi-reaksi dengan sendirinya memerlukan suatu strategi yang efektif untuk pengaturan sistem persenjataan, terutama oleh karena meningkatnya kemampuan pertahanan suatu negara dapat dianggap sebagai meningkatnya kadar dan bobot ancaman pada negara lain. Ia dapat dilakukan relatively terpisah dari hubungan internasional. Sebaliknya, jika motivasi utama suatu dinamika persenjataan negara-negara dalam sistem internasional didorong oleh struktur domestik dan/atau keharusan teknologi, usaha pengaturan persejataan mungkin harus dilakukan dalam kaitannya dengan pembentukan suatu tata internasional yang baru.

Bahan Bacaan
Acharya, Amitav. "An Arms Race in Post-Cold War Southeast A'sia: Prospecs for CoArol".
Pacific Strategic Papers. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994.
Anwar, Dewi Fortuna. "The Rise in Arms Purchases: Its Significance and Impacts on
Southeast Asian Political Stability. Indonesian Quarterly Vol. XXII, No. 3 (1994): pp. 247-259.
Gray, Colin S. "The Arms Race Phenomenon", World Politics 24 (1972): pp. 39-79.
Huisken, Ron. Limitations of Armaments in Southeast Asia: A Proposal. Canberra Papers on
Strategy and Defence No. 16. Canberra: Australian National University, 1977.
Leksono-Dharmawan, Ninok. "Akuisisi Senjata RI dan Anggota ASEAN Lain, 1975-1990:
Suatu Kajian atas Riwayat, Pola, Konteks dan Logika". Ph. D. Dissertation, Post-Graduate
Programme, Universitas Indonesia, 1992.
Richardson, Lewis Fry. Arms and Insecurity: A Mathernatic Study of the Causes and Origins
of War. Pittsburgh: Boxwood Press, 1960.
Russett, Bruce. The Prisoners of Insecurity: Nuclear Deterrence, the Arms Race, and Arms
Control. New York: W.H. Freeman and Company, 1983.
Thee, Marek . "Third World Armament: Structure and Dynamics", Bulletine of Peace
Proposals Vol. 13, No. 2 (1982): 113-17.