Sabtu, 09 Agustus 2008

Optimisme dan Pesimisme terhadap Perang dan Damai

PENGANTAR

Perang dingin telah usai. Kini banyak orang berdebat tentang tatanan dunia masa depan yang akan mengganti perang dingin. Apakah berakhirnya perang dingin tahun 1989, runtuhnya pakta Warsawa, runtuhnya Uni Soviet dan bergabungnya dua Jerman, mendorong tatanan dunia yang lebih aman? Ataukah runtuhnya Yugoslavia, peperangan yang belum usai di Afrika dan bergolaknya perang etnonasionalisme justru memperingatkan bahwa dunia sedang menuju tatanan yang lebih berbahaya? Apakah berkembangnya model pemerintahan demokrasi liberal akan menghasilkan perdamaian? Ataukah globalisasi ekonomi dunia akan menggeser pusat-pusat kekuatan dunia kepada kekuatan-kekuatan yang cinta damai?

Untuk menjawab apakah masa depan hubungan internasional akan lebih damai atau tidak maka perlu memahami faktor-faktor yang fundamental perang dan damai di masa lalu, mana yang penting bagi dunia saat ini dan mana yang tidak penting. Di samping itu perlu pula memahami faktor-faktor baru yang belum dipetakan secara jelas. Tanpa memahami konteks itu, ramalan tentang dunia akan lebih damai atau perang, sama sekali ramalan yang arogan dan menjadi sumber miskalkulasi bagi politisi.

Pandangan optimistik, palimg tidak diwakili oleh Francis Fukuyama dalam buku The End of History and The last Man. Secara ringkas argument Fukuyama adalah bahwa masyarakat dunia telah mengalami perubahan-perubahan yang signifikan dalam ideology, yaitu kemenangan ideology liberal atas ideology lain seperti fasisme dan komunisme. Hal ini berarti tidak ada rival lagi terhadap ideology liberal, dan ideology ini berkembang ke seluruh penjuru dunia. Ideology ini akan membangun dua pilar besar yang akan menjadi basis hubungan internasional; demokrasi dan sistem perekonomian pasar bebas. Konflik akan berubah menjadi persaingan yang selalu berada dalam dua norma tersebut. Ideology liberal akan menjadi superstruktur yang akan menetukan kepentingan nasional dan perilaku ekonomi. Sepanjang ideology ini diadopsi maka konflik-konflik besar antar negara akan bisa dihindari karena konflik dalam hubungan internasional akan digantikan oleh kalkulasi unutng rugi, penyelesaian soal-soal teknis, persoalan yang berhubungan dengan lingkungan, dan perdebatan-perdebatan low politics lainnya.

Pandangan optimis lain juga muncul dari John Mueller, dalam tulisan Retreat from Doomsday: The Obsolescence of Major War. Menurut Mueller, sejarah dunia mencatat perkembangan-perkembangan yang menakjubkan yang merubah kondisi budaya dan kondisi sosiologi masyarakat. Perang dianggap sangat mahal. Perang semakin tidak dibutuhkan lagi oleh umat manusia dan menjadi fakta yang mengancam kehidupan manusia.

Pandangan pesimis muncul paling tidak dari Samuel Huntington dan John Marsheimer. Huntington dalam tulisan yang berjudul the error of endism mengktisi pendapat Fukuyama. Menurut Huntington, penerimaan idelogi liberal secara universal selalu berarti tidak ada konflik dalam ideology liberal itu sendiri. Terlebih lagi menurut Huntington, kemenangan satu ideology tidak bisa menghalangi munculnya ideology-ideologi lain, karena masyarakat dan bangsa selalu berubah, maka tantangan dalam kehidupan akan mendorong lahirnya konsep, teori dan ideology baru untuk menghadapi tantangan tersebut. Pendapat bahwa berakhirnya perang akan mendorong perdamaian, menurut Huntington tidak berdasarkan fakta, karena faktanya saat ini rezim demokrasi di dunia masih sangat sedikit yang bisa benar-benar dikategorikan sebagai rezim bebas. Terlebih lagi, faktor perdamaian bukan persoalan natural dari demokrasi, tetapi lebih didorong oleh faktor luar. Tidak adanya perang diantara negara-negara demokratik selama ini lebih disebabkan oleh faktor kedekatan geografis dan keakraban negara. Misalnya sejak PD II, negara-negara demokratik tergabung dalam aliansi dengan AS.

John Marsheimer bahkan lebih pesimis lagi. Dalam tulisan yang berjudul Why We Will Soon Miss the Cold War, Marsheimer menyatakan bahwa perkembangan ekonomi budaya dan sosiologi tidak terlalu banyak berperan dalam perdamaian. Dalam sejarah hubungan internasional yang anarkhis, perang dingin justru menjadi satu masa di mana kondisi yang damai tanpa perang justru eksis. Tidak adanya perang dingin justru menimbulkan pertanyaan bagaimana memelihara perdamaian di Eropa khususnya, yang multipolar; bagimana mengatur perkembangan senjata nuklir di eropa, bagimana menyeimbangkan kekuatan-kekuatan Eropa yang multipolar, bagaimana menghadapi negara-negara yang hypernasionalist di Eropa timur dst. Persoalan justru lebih mudah ketika Uni Soviet ada, dan persaingan antara dua kekuatan meredakan kekuatan-kekuatan lain yang ekspansionis.

Di tengah perubahan global ini, bagaimana memahami kemungkinan-kemungkinan yang bisa muncul?. Cara yang lebih baik adalah dengan melakukan mereexaminanisi pandangan-pandangan tentang perang dan damai. Ada dua perspektif utama dalam HI yang membentuk persepsi politik dunia; realisme dan liberalisme.

REALISME

Landasan perspektif realisme telah jauh-jauh diletakkan oleh sejarahwan Yunani Thucydides (2500 th yang lalu), Marchiavelli, abad 16, Thomass Hobbes abad 17 dan Rosseau abad 18. tokoh-tokoh ini memiliki asumsi yang sama untuk menggambarkan kondisi dunia, yaitu sebagai “belantara” yang dicirkan oleh “state of war”. State of war (kondisi diambang perang) bukan kondisi yang menggambarkan perang yang terus-menerus terjadi, tetapi kemungkinan perang yang terus-menerus muncul diantara negara-negara.

Politik berada dalam kondisi state of war karena pada dasarnya kondisi manusia, karakter negara dan struktur internasional memungkinkan kondisi ini terus ada. Karena terus ada kemungkinan perang, maka setiap negara dianjurkan untuk mengikuti “realpolitik”. Maksudnya adalah selalu mengikuti kepentingan sendiri, siap-siap perang, dan berhitung-hitung terhadap kekuatan relative negara lain.

Realisme sering dikatakan sebagai bebas idealisme, karena perspektif ini mengajurkanbahwa idealisme setiap negara adalah kepentingan nasional, sebagai pemandu untuk memformulasikan kebijakan-kebijakan dalam sistem internasinal yang anarki. Kegagalan dalam menerima prinsip kepentingan nasional atau alasan negara lain akan mendorong bencana nasional, meningkatnya kekerasan global dan perilaku para negarawan yang menempatkan kepentingan dirinya di atas kepentingan public. Kepentingan nasional inilah yang kemudian menjadi etika dalam hubungan internasional.


LIBERALISME

Perspektif liberal landasannya diletakkan oleh John Locke, tentang kebebasan individu dalam pemerintahan dan Imanuel Kant. Dalam konteks politik internasional, perspektif liberal menentang pandangan bahwa politik dunia adalah “belantara”. Bagi liberal, politik dunia adalah “kebun yang subur”, yang merupakan gabungan antara “state of war” dengan “state of Peace”. Dalam pandangan liberal, negara adalah koalisi dari kepentingan yang mewakili individu atau kelompok. Kepentingan sebuah negara tidak ditentukan oleh satu tempat dalam suatu sistem internasional, tetapi oleh banyak kepentingan, idealisme dan aktivitas anggota yang tikangkap oleh pemerintah yang berwenang. Berbeda degan sistem otokrasi atau dikaktor yang merepresi kebebasan, menurut pandangan liberal, pandangan-pandangan domestic yang berbeda-beda mempunyai pengaruh signifikan terhadap situasi internasional. Nilai-nilai domestic dan institusi domestic-lah yang membentuk kebijakan luar negeri. Jadi kondisi state of war bagi kaum liberal berada jauh di luar wilayah mereka yang lebih menginginkan kondisi damai.

Bagi liberal, kebijakan luar negeri harus merefleksikan hak dan kewajiban individual. Apapun institusinya, kebijakn itu harus mendukung persamaan manusia, ini yang menjadi prinsip moral perspektif liberal. Namun perspektif ini mempunyai variasi pendapat, apakah mereka akan taat pada prinsip kedaulatan nasional atau mengijinkan kemungkinan intervensi dan redistribusi.



REALISME INTERNASIONAL

Tradisi pemikiran dominan dalam hubungan internasional adalah realisme. Argumen utama perspektif ini adalah, dalam upaya mencapai keselamatan (survive), negara terdorong untuk selalu mencari power, karena prinsip legal dan prinsip moral tidak bisa mengendalikan hubungan antar negara. Perang terjadi karena tidak ada sistem internasional yang mampu menyelesaikan perselisihan secara damai dan menegakkan peradilan. Negara tidak bisa bergantung kepada siapapun kecuali dirinya sendiri, dan karenanya negara berhak untuk menegakkan keselamatannya sendiri.

Realisme sering didefinisikan sebagai sekumpulan pandangan yang merupakan kritik terhadap pandangan idealis, moralis, legalis, kosmopolitanis bahkan rasionalis. Namun demikian realisme juga sering dibedakan antara realis tradisionali dan neo-realis, terkait dengan metode scientific-statistik dan interpretasi sejarah. Kritik noe-realis terhadap realis terutama karena realis terlalu menekankan pada unit analisa negara, perilaku negara utilitarian (setiap perilaku pasti ada kepentingan) dan positivis (politik adalah metode untuk mencari kepentingan ekonomi).

Pada dasarnya realisme memiliki kesamaan asumsi dasar. Realisme mewakili pandangan yang skeptic tentang tatanan internasional yang damai. Realis juga memandang bahwa kepentingan negara lebih superior dan bisa dibedakan dengan kepentingan individu.

Asumsi yang sangat mendasar adalah asumsi “sate of war”. Raelis hanya percaya bahwa tatanan internasional yang luas hanya akan muncul apabila didasarkan pada power atau force, karena kondisi politik internasional yang anarkhi. Situasi inilah yang selalu menempatkan negara pada kondisi di ambang perang, karena ada rasa tidak aman secara timbal balik, setiap negara asing adalah possible enemy, aliansi sifatnya sangat temporer, sehinhha kemungkinan perang akan selalu muncul. Setiap negara dengan derajat yang berbeda akan menghadapi situasi dilemma keamanan. Self help adalah satu-satunya cara untuk meraih keamanan politis, sementara self help itu pada sisi lain mengancam keamanan negara lain.

Michael Doyle dalam buku Ways of War and Peace; Realism, Liberalism and Socialism (1997) menunjukkan bahwa realisme ternyata bisa dibedakan menurut cara berpikir para filosofnya, menjadi empat perspektif: (1). Complex realism yang bersumber pada pemikiran Tucydides, (2). Fundamental Realism, yang bersumber pada pemikiran Marchiavelli, (3). Structuralist realism yang bersumber pada pemikiran Thomas Hobbes, dan (4).Constitusionalist realism yang bersumber pada pemikiran Rosseau.

Masing-masing perspektif memiliki faktor penyebab dan penjelasan normative yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu mengantar pada kesimpulan yang berbeda atas prospek perang dan damai, kerja sama dan konflik, karena ada penilaian yang berbeda terhadap cara-cara terbaik yang dilakukan negara untuk mengejar kepentingannya.

  1. complex realism

seperti halnya realisme yang lain, complex realisme memandang hubungan antar negara sebagai stae of war. Namun berbeda dengan realisme yang lain, complex memiliki cara pandang yang dibungkus interpretasi sejarah. Pandangan ini berdasar pada tiga asumsi minimal (1). Panggung internasional adalah anarki (banyak kekuatan tanpa sebuah pemerintahan) (2). aktor utama HI adalah negara merdeka dan berdaulat, namun hirarki domestic juga menjadi pendorong anarkisme internasional (3).tidak ada sumber-sumber internasional yang legitimate yang mampu mengontrol otoritas baik moral, sosial, cultural maupun legal, yang mampu mengeliminasi atau memamane konflik kepentingan, prestise mnaupun nilai. Ketiga asumsi itu mengantar pada kondisi state of war.

Saling tidak percaya adalah cirri utama politik antar negara, sehingga dengan maksud baik sekalipun, tidak satupun negara mau menyerahkan bagian dari keselamatan atau kebebasannya kepada negara lain. Rasionalitas negara sangat ditentukan oleh upaya mengejar kepentingan nasional (power) atau bagimana mereka menyusun tujuan akhir tersebut. Memang proses menentukan preferensi itu menghadapi banyak pilihan terbuka baik karena pertimbangan domestic maupun pertimbangan internasional. Kualitas penilaian politik menjadi sangat penting karena perilaku negara tidak dibatasi oleh sistem atau politik local maupun domestic. Pilihan politik melibatkan pilihan moral, namun secra etis sangat tergantung pada pertimbangan-pertimbangan strategis dan keamanan. Karena logika ketidakamanan global, maka setiap negara harus memelihara otonominya, menjamin keamanan sendiri dan memperhatikan kekuatan relative negara lain.

Kesimpulan utama dari complex realisme adalah, berlanjutnya kondisi state of war. Perang-perang mungkin mempunyai banyak sebab seperti salah kalkulasi, beda ideology, mengejar keuntungan dan bahkan ketakutan atau kekalahan. Karena konteks anarki yang permanent, maka ketakutan merupakan penyebab kuat terjadinya perang.

Hanya apabila asumsi-asumsi dasar berubah, maka berubah pula esensi hubungan politik antar negara. Pemerintahan dunia, merupakan bentuk sempurna dari consensus normative tentang harmony of interest. Sehingga kondisi state of war akan hilang. Kegagalan membentuk kerajaan universal atau masyarakat keamanan, menyebabkan kondisi state of war akan selalu muncul.

Kelebihan dari complex realism adalah tingkat akurasinya. Karena asumsi dan modelnya lebih kompleks maka bisa digunakan untuk menginterpretasikan proses politik internasional secara actual.

  1. Fundamentalisme

Perspektif ini beranggapan bahwa semua hubungan sosial selalu berakar pada kondisi psikologi manusia dan kebutuhan material yang didorong oleh power. Perilaku negara, sebagaimana halnya perilaku manusia, dapat dipahami sebagai refleksi interest oriented dan power seeking activity. Seperti apa yang dikatakan oleh Moregenthau bahwa politik internasional sebagaimana politik domestic, adalah perjuangan untuk meraih kekuasaan. Dorongan untuk meraih kekuasaan inilah yang mendorong state of war.

Fundamentalisme juga menerima asumsi anarkhi internasional sebagaimana complex realisme, tetapi anarki ini berbeda antara level domestic dengan level internasional. Karena berakar dari hakikat manusia, maka pera negarawan tidak punya pilihan lain kecuali power politics. Setiap negara tanpa keculai akan berjuang untuk meraih kekuasaan, bukan kesimbangan kekuatan, namun untuk superioritas kekuatan. Logika yang sama juga terjadi pada level individual.

Kelebihan dari fundamentalisme ini adalah karena fokusnya pada kepemimpinan individual. Ini sangat membantu untuk melacak mekanisme perubahan dunia yang sering dihadapi oleh para negarawan ketika harus menetukan pilihan kebijakan.

  1. Strukturalime

Strukturalisme juga ingin menerangkan state of war. Strukturalisme juga menyetujui asumsi anarkisme internasional dan dominasi actor negara dalam HI. Namun menurut strukturalisme, actor negara ini memiliki unit fungsional yang sama, namun berbeda dalam kapabilitas (kemampuan) bukan beda tujuan.

Strukturalisme juga mengakui proses rasional, dan preferensi terhadap kekuasaan sebagai cara untuk menjamin security. Tapi strukturalisme beda dengan fundamentalisme dalam memandang asumsi ahkikat manusia tau organisasi sosial. Menurut strukturalisme, hakikat manusia dan organisasi sosial ditentukan oleh struktur itu sendiri. Pada dasarnya perilaku negara itu sama, rasional dan power seeking melalui kompetisi dan sosialisasi. Hanya saja rasionalitas dan power seeking akan mendorong kompetisi untuk mendominasi dan ini menjadi pelajaran bagi rival mereka.

Kesimpulan utama strukturalisme adalah hipotesis tentang stabilitas kekuatan bipolar, instabilitas multipolar dan kelemahan-kelemahan kendali transnasional. Penadapat itu berdasar pada asumsi bahwa setiap negara memiliki kapabiolitas yang berbeda dalam persaingan di dalam sistem internasional. Menurut strukturalisme, sistem internasional membutuhkan regularitas.

  1. Konstitusionalismer

Konstitusionalisme memnganalisa efek perbedaan institusi kultur, sosial, ekonomi dan politik. Perspektif ini melihat danya variasi perilaku negara sangat dipengaruhi oleh kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya suatu negara. Perspektif ini tetap berpendapat bahwa ada anarkisme dalam HI dan dominasi aktir negara. Akan tetapi pendekatan ini menekankan batasan-batasan sosiologis yang lebih luas dan konsekuensi domestic terhadap politik internasional.


Varian Realisme dalam isu perang dan damai


Fundamentalisme

Marchiavellian

Strukturalis

Hobbesian

Konstitusionalis

Rousseaunian

State of war

Domestic/ internasional

Internasional/ homogen

Internasional/ heterogen

aktor

individual

Negara

Negara

Sumber state of war

ambisi

Anarki

Kepentingan

Strategi perdamaian

imperialisme

Balance of power

Isolasionis/ pertahanan/ revolusi


KONSEP BALANCE OF POWER

Konsep balance of power adalah strategi utama realis dalam politik internasional. Rousseau mungkin mengharapkan ada semacam strategi isolasionis sementara waktu, Marchiavelli mungkin menghendaki kemenangan imperialisme, untuk mencapai perdamaian. Namun demikian, semua varian realisme mengakui bahwa balance of power adalah hasil dari paling bijak yang seharusnya dicapai oleh negara-negara apabila mereka tidak bisa meraih hasil lain yang lebih baik.

Balance of power bukanlah sebuah konsep yang self-evident. Konsep ini memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Meskipun memiliki makna yang bervariasi, salah atu definisi yang acap kali digunakan adalah suatu kondisi dimana interaksi antar negara menjamin keselamatasn sistem dengan membentuk kerajaan atau hegemoni atau koalisi antar negara.

Emmerich de Vattel dan Frederich von Gentz, memberi definisi singkat tentang balance of power, .. penataan bermacam-macam urusan sehingga tidak ada satu negarapun mempunyai posisi absolute dan mendominasi pihak lain. Dalam balance of power ada semacam konstitusi yang menghubungkan beberapa negara, sehingga tidak ada negara yang melanggar kemerdekaan dan hak-hak dasar mereka.

David Hume memiliki definisi yang lain, bahwa balance of power adalah suatu metode untuk menjaga diri. Balance of power berarti, sekumpulan negara lemah yang berjaga-jaga terhadap satu kekuatan besar diantara mereka, yang bisa membahayakan kemerdekaan, dan kebebasan.

Ada beberapa model balance of power dilihat dari yang kurang tertata menuju yang tertata:

  1. counter-hegemonic coalitions; upaya beberapa negara untuk mencegah penaklukan dari negara hegemon. Misalnya upaya dari ratu Elizabeth I di Inggris ketika bergabung dengan Prancis untuk menandingi kekuatan diansti Hapsburg (austro-hongaria), juga upaya Winston Churcill mendukung Rusia melawan Jerma pada perang Dunia II.

  2. Geopolitical Counterpoise; karena setiap negara adalah kawan dan musuh potensial maka harus ada blok-blok sistematis beberapa negara terhadap negara-negara merdeka lainnya. Konsep ini dibangun oleh kautilya dalam Arthasastra. Bangunan yang dibayangkan oleh Kautilya adalah lingkaran permusuhan (tetangga terdekat) dan lingkaran pertemanan (musuh tetangga), sehingga ada keseimbangan antara ancaman dengan kekuatan.

  3. equipoise, pembentukan dua atau lebih koalisi yang berimbang. Equipoise adalah dampak dari upaya setiap negara dalam membangun aliansi sementara kekuatan tiap negara tidak sama. Tetapi karena setiap negara menjalani permainan ini maka koalisi lama-lama menjadi berimbang.

  4. equality, keseimbangan antar negara tidak hanya secara eksternal tetapi juga internal. Equality bisa termanifestasi antara lain dari tendensi untuk menyamakan kapabilitas militer; anggaran militer dst.

  5. great power stability, indikasinya adalah keselamatan negara-negara utama yang tidak tereliminasi dalam perang BoP.

  6. sistem stability, keselamatan setaip negara, baik negara besar maupun negara kecil.

  7. peace. Kemenangan BoP adalah kondisi damai yang berjangkauan luas.



Kondisi balance of power harus dibedakan dari beberapa kondisi yang mungkin mirip dengan BoP:

  1. balance against threat tidak berarti balance against power. Balance of power memiliki makna dan indicator yang lebvih luas ketimbang balance against threat, karena BoP mencakup keseimbangan kapasitas power, apapun kondisinya (ada ancaman maupun tidak).

  2. balance of power juga harus dibedakan dengan sistem keamanan bersama (collective security system), karena collective security hanya berkomitmen untuk melindungi negaranya dari aggressor, siapapun aggressor itu. Keputusan dalam collective scurity sangat individualistic. BoP bahkan mengizinkan perang agresif untuk mencapai kondisi seimbang.

  3. BoP juga bisa dibedakan dari sistem concert. Sistem concert mensyaratkan koordinasi dan keputusan kolektif sebagai efek dari suatu aliansi yang lebih besar, sedangkan BoP lebih bersifat multiple alliansi dan aliansi yang selalu berubah-ubah.


Liberalisme Internasional


Prinsip-prinsip liberalisme dikenal dengan beberapa cirri seperti kebebasan individual, partisipasi politik, hak milik pribadi dan kesetaraan kesempatan. Secara politis prinsip liberal menunjuk pada kebebasan individual, kepercayaan pada pentingnya kebbebasan moral dan hak untuk mendapat perlakuan sebagai subyek bukan hanya obyek. Prinsip-prinsip inilah yang melahirkan konsep hak dan institusi.

Liberalisme kemudian ditandai dengan komitmen terhadap empat institusi penting: pertama, warga negara memiliki hak-hak fundamental yang sama, seperti hak bebas beragama, sama didepan hokum dll. Kedua, kedaulatan negara yang efektif dijalankan oleh anggota legislative yang dipilih. Dalam konteks hubungan luar negeri, negara itu berdaulat dari otoritas asing maupun otoritas internal seperti monarki maupun birokrat militer yang mungkin memiliki hak-hak prerogative pada kebijakan luar negeri. Ketiga, prinsip ekonomi berdasar pada prinsip hak milik pribadi. Keempat, keputusan ekonomi dibentuk oleh kekuatan pasar secara domestic maupun internasional, bebas dari campur tangan ketat para birokrat.

Keempat prinsip dan institusi tersebut membentuk dua pilar tata kelola liberal yaitu laissez faire dan market. Dalam rangka menjaga kesempatan warga negara untuk tetap bebas laissez-faire liberalisme membongkar peranan negara dan memberi kesempatan yang besar pada sector privat dan pasar. Dalam rangka mempromosikan kesempatan kebebasan, welfare liberalisme memperluas peranan negara dan membatasi pasar. Namun demikian prinsip-prinsip tersebut masih bisa dibedakan dengan bentuk-bentuk rezim yang lain seperti otoritarian dan kediktaktoran monarki maupun militer.


Asumsi dan argumen

Pada dasarnya teori liberal internasional adalah teori yang diambil dari teori domestic. Berbeda dengan realisme yang sejak awal merupakan teori internasional, karena prinsip utamanya state of war.

Inti dari pandangan realisme secara singkat: kondisi state of war diantara negara-negara dan masyarakat, sementara perang dipandang sebagai kemungkinan lanjutan (politics with other means), selalau ada prospek terancam, sehingga setiap negara harus memperhatikjan negara lain karena kemungkinan ancaman itu. Hal ini karena realis berasumsi bahwa:

  1. hubungan antar negara adalah anarkis, sehingga tidak ada pemerintahan global, perdagangan, budaya, institusi bahkan hokum internasional yang bisa eksis di bawah kondisi anarki ini

  2. setiap negara adalah unit independent yang merupakan actor strategis. Meski ada beberapa variasi struktur seperti, aktior rasional uniter (Hobbes), unit sosiologis yang berbeda (Rousseau), pangeran yang rasional (Marchiavelli), tetapi setiap variasi pendapat memiliki kesamaan bahwa negara adalah actor yang bertarung untuk memperoleh kekeuatan (power) yang efektif dan legitimate. Tidak ada satu kelompok ataupun pangeran, yang memiliki klaim yang legitimate terhadap otoritas. Kalau ada satu kelompok yang bisa menegakkan counter kalim sehingga menyebabkan negara runtuh atau jatuh ketangan kekuatana sing, maka anarki berakhir dan berganti dengan hirarki.

  3. beberapa dari negara-negara tersebut berupaya untuk memeperluas, sementara yang lain berjuang untuk selamat. Tidak stau negara pun yang bersiap untuk bergabung dalam kerjasama ataupun akomodasi dalam jangka panjang.


Persepsi bahwa ada negara yang ingin melakukan perluasan, dan karena setiap negara berdaulat maka mereka akan sama egoisnya, sementara tidak ada kedaulatan global, maka setiap negara secara rasional akan merasa takut satu sama lain. Suatu negara merasa takut apabila mereka tidak mampu meningkatkan daya agresinya terhadap negara lain, kerena negara itu juga tidak bisa yakin bahwa tetangganya tidak akan mengagresi mereka. Setiap negara berada dalam kondisi state of war atau yang dikenal sebagai dilemma keamanan (security dilemma). Dampaknya adalah, nilai-nilai kebaikan internasional adalah nilai yang relative, karena setiap apa yang dianggap baik harus diukur dari seberapa jauh hal itu berkontribusi terhadap keamanan. Sementara didunia ini setiap negara harus mampu menegakkan keamanannya sendiri (selp-help system). Dalam sebuah aliansi, nilai-nilai absolute mungkin dihargai tapi itu terjadi karena nilai-nilai itu berkontribusi terhadap superioritas relatif aliansi terhadap aliansi lain. Dari sini maka aliansi mudah runtuh.

Pandangan liberal sangat berbeda. Politik internasional tidak dipandang sebagai state of war yang homogen, tetapi sebagai kondisi minimum antara kondisi damai dan perang yang heterogen yang mungkin akan berubah menjadi kondisi state of global peace in which expectation of war disappeared. Apabila ada dua atau lebih negara liberal hadir dalam sistem internasional, maka akan muncul pilihan-pilihan kebijakan lain (tidak hanya rasionalitas keamanan seperti yg dibayangkan oleh realisme ketika setiap negara diasumsikan dalam kondisi state of war). Masyarakat liberal akan bersaing untuk meraih kekayaan, kejayaan dan kemajuan budaya, tanpa pernah membayangkan bahwa kompetisi itu harus diselesaikan melalui perang. Institusi formal maupun informal seperti organisasi internasional dan hukum internasional mempunyai peranan yang besar dalam kompetisi dibandingkan para serdadu dan diplomat seperti yang dibayangkan oleh realis. Hal ini karena liberal memiliki asumsi-asumsi:

  1. meski setiap negara hidup dalam situasi anarki internasional (yg diartikan sebagai tidak adanya pemerintahan dunia), tidak berarti setiap negara menghadapi situasi state of war.

  2. setiap negara secara inheren adalah unit yang berbeda-beda tergantung bagaimana negara itu berhubungan dengan hak asasi setiap individu. Negara liberal berbeda dengan negara non-liberal, republic berbeda dengan otokrasi maupun otoriter, kapitalis beda dengan sosialis komunis. Perbedaan-perbedaan ini mendorong perilaku yang berbeda dalam hubungan internasional.

  3. tujuan negara, sama dengan tujuan individu, yaitu mencapai keamanan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak individual.


Dengan demikian menurut teori liberal internasional, setiap negara berperilaku berbeda-beda dan tidak dihomogenisasi oleh sistem internasional. Liberal internasional mengakui kondisi anarki, namun liberal memanknai anarki secara berbeda. Anarki menurut realis adalah situasi zero-sum game, tetapi menurut liberal situasi anarki itu adalah posistive-sum game, setiap negara dapat menang atau kalah bersama-sama.

Menurut liberal kondisi insecurity bisa diselesaikan melalui akomodasi yang stabil. Setiap negara dalam situasi yang kompetitif akan lebih suka bekerja sama berdasarkan kepercayaa. Agar tercapai koordinasi, maka harus ada aliran informasi. Dengan prinsip-prionsip saling menghargai, maka negara-negara liberal menghilangkan ancaman dan sebagai gantinya, mereka membangun kesempatan bagi keuntungan dagang timbal balik dan bahkan aliansi (bila perlu) dengan negara-negara non-liberal. Menurut liberal, kondisi anarki saja tidak cukup sebagai alasan untuk berperang. Penyebab perang terutama adalah orang yang jahat, terbelakang atau ditipu, sehingga memulai perang. Penyebab-penyebab itu bisa dihilangkan dengan penyebaran nilai-nilai liberal dan institusi liberal.

Teori liberal internasional didasarkan pada karya fenomenal Imanuel Kant yang berjudul Perpetual Peace. Kant menyatakan bahwa tendensi untuk maju adalah kondisi yang alamiah pada setiap manusia, dan karenanya, setiap masyarakat dan republic berupaya memperbaiki kondisinya. Dengan demikian setiap masyarakat akan menciptakan perdamian yang kekal.

Penulis-penulis lain seperti Robert O Keohane dan Joseph Nye menunjukkan bahwa dunia modern dicirikan oleh situasi saling ketergantungan yang kompleks (complex interdependence). Dalam kondisi yang demikian maka penggunaan perangkat kekerasan dalam hubungan antar negara akan berkurang, bahkan sebelum masa perang dingin berakhir.

Penulis-penulis liberal lain juga berpendapat bahwa perang sekarang ini sudah menjadi metode usang dalam politik internasional, bahkan sekarang muncul kecederungan regionalisme dan munculnya lembaga supra nasional.


VARIASI PEMIKIRAN LIBERAL TENTANG PERANG DAN DAMAI

Seperti halnya realis, liberal juga menunjukkan perbedaan-perbedaan. Paling tidak ada tiga focus yang berbeda yang mendapat perhatian dari pemikir liberal:

  1. institusionalis, fokusnya pada level individual. Pemikiran ini berdasar pada pemikiran John Locke dan Jeremy Bentham.

  2. komersialis, fokusnya pada masyarakat domestic. Ini berdasar pada pemikiran Adam Smith dan Joseph Schumpeter.

  3. internasionalis, fokusnya pada sistem antar bangsa. Berdasarkan pemikiran imanuel kant.


Berbeda dengan realis yang mengasumsikan hubungan antar bangsa sebagai state of war, liberal berasumsi kondisi state of war baru diketahui apabila ada aksi-aksi agresif maupun peryantaan keinginan untuk mengagresi. Sehingga menurut liberal selalu ada kemungkinan untuk meraih perdamaian (state of peace).

Menurut Locke dan bentham, kondisi state of peace kebanyakan telah dikorupsi oleh berbagai perilaku curiga, penilaian sepihak, misinformasi dan ketidakpastian, sehingga state of war dan state of peace berjalin berkelindan (melebur). Persepsi dan kepentingan warga negara secara individual maupun para negarawan sering kali menyebabkan korupsi terhadap perdamaian. Namun apabila individu-individu tersebut mempunyai dedikasi tinggi terhadap rule of law (daulat hukum), membela tujuan negara (life-liberty dan property / estate) maka langkah-langkah menuju keadilan internasional bisa diraih. Namun menurut Locke dan Bentham, sering kali usaha itu gagal dan kebanyakan negara hanya mampu menjaga keamanannya sendiri.

Menurut Adam Smith dan Schumpeter, kondisi-kondisi state of war bisa diantisipasi dengan mengembangkan masyarakat komersial dan demokrasi kapitalis. Melalui masyarakat komersial maka rasionalisasi akan menggabungkan kepentingan individu dan kepentingan sosial di dalam konsep pasar. State of war menurut liberal komersial, pada dasarnya bersumber dari imperialisme otokratik dan eksport monopolisme, yang merupakan dampak sesaat dari revolusi industri dan kapitalisme pasar. Dalam jangka panjang, komersialisme dan kapitalisme akan menjamin kekuatankekuatan perang autokrasi tradisional itu menjadi padam.

Menurut liberal internasionalisme, state of war adalah daya paksa structural yang setiap saat bisa meldak. State of war itu bisa diredam dengan proses konstitusional evolusi politik dunia yang memungkinkan pemerintahan-pemerintahan republic membangun state of peace ke dalam pacific union (uni yang tenang/ teduh). Dengan membangun hokum internasional yang masuk akal, collective security dan kerahmatmahan transnasional, maka republic-republik menciptakan politik perdamaian yang akan terus diperluas sehingga ada prospek untuk mencapai perpetual/ universal peace.



Variasi pemikiran liberalisme


institusionalis

komersialis

internasionalis

State of war

Persamaan internasional

Perbedaan internasional

Perbedaan internasional

State of peace

Individu individu yang terganggu “kenyamanannya”

Diantara negara kapitalis

Pacific union diantara republic

aktor

individual

Pasar/ masyarakat

Republic/ non republic

Sumber state of war

Kecurigaan dan misinformasi

Imp[eralialisme dan monopolisme

Berbagai otokrasi / upaya pemberatasan liberalisme

Strategi perdamaian

Hukum internasional

Perdagangan bebas, pengembangan kapitalisme

Perluasan republik


Liberalisme terutama liberalisme Kantian, sangat optimis terhadap klaim bahwa politik dunia bisa mencapai state of peace. Liberal juga mengklaim konsep-konsep dasar yang akan membentuk tatanan dunia liberal yaitu; kebebasan (liberty) dan demokrasi. pertanyaannya apakah prinsip-prinsip dan institusi liberal merupakan sumber-sumber utama bagi tercapainya perdamaian diantara negara-negara liberal?

Pada level strategis, apa yang disebut sebagai perdamaian liberal, menurut realis hanyalah sebagai akibat dari praktek prudent diplomacy. Dalam rangka mencegah war of all against all ketika setiap negara mengejar sumber-sumber ekonomi dan prestise yang langka, realis mengakui keberadaan prudent diplomacy. namun menurut ralis, dalam kondisi state of war, prudensial bisa ditingkatkan dengan meningkatkan paritas teknologi militer terhadap negara lain

Tidak ada komentar: